Minggu, 13 Desember 2015

REFORMASI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DALAM MENGHADAPI AFTA 2016 DAN APEC 2020


 M. Azhar Alwahid
Dosen PAI – Fakultas Agama Islam UIKA Bogor

ABSTRAK
Lahirnya kesepakatan APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation) dan AFTA (Asean Free Trade Area) turut mewarnai dunia pendidikan. APEC merupakan forum utama untuk memfasilitasi pertumbuhan ekonomi, kerja sama, perdagangan dan investasi di kawasan Asia–Pasifik yang bertujuan mengukuhkan pertumbuhan ekonomi dan mempererat hubungan komunitas negara-negara  di Asia Pasifik. Sedangkan AFTA merupakan wujud kesepakatan negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi di kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia serta menciptakan pasar regional bagi lima ratus juta penduduknya. Kesepakatan APEC dan AFTA semakin kuat dengan adanya kesepakatan pembentukan WTO (Word Trade Organization) pada tahun 1995. Kesepakatan APEC dan AFTA ternyata berimflikasi ke dunia pendidikan termasuk pendidikan Islam, di mana lembaga pendidikan Islam di tuntut untuk menghasilkan lulusan yang dapat menjawab tantangan jaman, sesuai dengan kebutuhan pasar.   

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
            Dalam perkembangan dunia yang semakin meng-global, dunia pendidikan di hadapkan pada situasi yang semakin sulit, di satu sisi di tuntut Melahirkan siswa yang cerdas terampil, bermoral dan berakhlak mulia, tapi di sisi lain perkembangan teknologi yang tidak di imbangi oleh kesadaran pemanfaatannya dengan baik, terus mempengaruhi dan menggerogoti moral siswa, sehingga melahirkan siswa yang memliki sifat hedonisme, dan cenderung berperangai buruk. Lahirnya internet dan diikuti oleh Media sosial yang semakin canggih dengan fitur-fitur dan permainannya yang menarik menjadi Soko Guru (Guru utama) bagi mereka yang kecanduan. Demam bermain game online membuat meraka lupa belajar bahkan cenderung tidak memperhatikan kesehatan badan dan jiwanya. Dunia yang ada di pikiran mereka hanya dunia hayalan yang di buat oleh permainan dan imajinasai yang di buatnya sendiri. Bahkan peran tuhan sebagai sang pencipta tidak lagi menjadi perhatian dan keyakinan mereka. Tuhan bagi meraka hanya simbol yang di buat oleh orang tua dan guru-guru agama mereka saja, sama persis seperti tombol keyboard dalam komputer dan android yang mereka pegang setiap saat. Dunia nyata bisa di buat oleh meraka seperti dunia maya dalam game yang mereka mainkan. Ketika orang tua mereka menegur dan memarahi karena terlalu berlebihan bermain game mereka hanya perlu memencet tombol esc atau delete. Dan bahkan kalau sudah bosan dengan nasihat guru dan orang tua, mereka tinggal menghapus dari kehidupan mereka sama seperti menghapus permainan dalam game online yang mereka mainkan lalu mendown loud permainan baru yang lebih menyenangkan. Ketika kita sebagai orang tua dan pendidikan menemukan anak yang demikian yang perlu di lakukan hanya butuh menginstal ulang otak mereka.
            Keadaan Yang demikian tidak terlepas dari pengaruh perkembangan dunia yang semakin meng-global. Lahirnya kesepakatan APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation) tahun 1989 dan AFTA (ASEAN Free Trade Area) pada tahun 1992 turut mewarnai dunia pendidikan kita saat ini. APEC merupakan forum utama untuk memfasilitasi pertumbuhan ekonomi, kerjasama, perdagangan dan investasi di kawasan Asia-Pasifik Yang bertujuan mengukuhkan pertumbuhan ekonomi dan mempererat komunitas negara-negara di Asia Pasifik. Sedangkan AFTA merupakan wujud kesepakatan negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia serta  menciptakan pasar regional bagi 500 juta penduduknya. Kesepakat AFTA dan APEC semakin kuat dengan adanya kesepakatan pembentukan  WTO (World Trade Organization) pada tahun 1995. Organisasi ini  merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh negara-negara anggota. Persetujuan tersebut merupakan kontrak antar negara-anggota yang mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangannya. Walaupun ditandatangani oleh pemerintah, tujuan utamanya adalah untuk membantu para produsen barang dan jasa, eksportir dan importer dalam kegiatan perdagangan. Indonesia merupakan salah satu negara pendiri WTO dan telah meratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO melalui UU NO. 7/1994.
            Dalam perkembangannya lembaga pendidikan bukan hanya menjadi gerakan moral dan sosial tapi terus bertransformasi (menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada) menjadi lembaga Nirlaba yang bertujuan mencari laba atau keuntungan. Kita semua memahami bahwa untuk mendapatkan pendidikan yang berkwalitas di perlukan modal yang cukup. Untuk melengkapi segala sarana dan prasarana yang memadai membutuhkan biaya yang besar, untuk menggaji guru yang profesional butuh pengeluaran yang tidak sedikit karena profesionalisme seorang guru harus berimflikasi pada peningkatan kesejahteraan yang cukup, minimal gaji yang di terima harus sesuai dengan standar UMR. Semua itu bermuara pada tujuan akhir yaitu terjadinya peningkatan kualitas lulusan dari lembaga pendidikan itu sendiri.
            Pada akhirnya masyarakat harus cerdas dalam memilih lembaga pendidikan yang sesuai dengan kemampuan kantong mereka tapi memiliki kwalitas yang baik. Bagi mereka yang memiliki kantong yang tebal mungkin tidak sulit memasukan anak mereka ke sekolah-sekolah mahal bertaraf internasional seperti Sekolah Madaniah Parung, Sekolah Al-Azhar, Madrasah Pembangunan Ciputat, International Islamic Boarding School (IIBS) Kuningan Jakarta, Sekolah Insan Cendikia Serpong, Sekolah Muttahari Bandung dan banyak lagi sekolah mahal yang berlabel sekolah Islam yang di khususkan untuk kalangan menengah keatas. Sekolah- sekolah tersebut memasang tarif luar biasa besarnya bahkan untuk biaya pendaftaran ke Sekolah IIBS, orang tua harus merogoh kocek mereka sebesar tujuh puluh juta rupiah, dan biaya SPP enam juta rupiah perbulan, selain itu ada biaya lain yaitu program kerja sama dengan Sekolah dan Universitas di Amerika Serikat dan Kanada yang di laksanakan selama dua bulan setiap tahunnya, sebesar delapan ribu dolar Amerika Serikat. Di perkirakan dari mulai masuk sampai lulus di butuhkan dana sekitar tiga ratus jutaan setara dengan biaya kuliah di fakultas kedokteran. Kehadiran Sekolah-sekolah elit Islam tidak terlepas dari kehawatiran dan keresahan para cendikiawan muslim terhadap perkembangan sekolah-sekolah elit dan bertaraf internasional dari kalangan non muslim dan banyak di antara saudara kita yang muslim, memasukan anaknya ke sekolah tersebut. Lahirnya sekolah elit Muslim memberikan jawaban atas desakan untuk menghasilkan generasi yang mampu berpacu dalam keragaman kultural dan perkembangan ilmu pengetahuan namun memiliki integritas moral yang kuat.
            Untuk kaum muslimin kelas menengah ke bawah yang memiliki keterbatasan biaya dan kemampuan finansial yang rendah. Perlu adanya terobosan baru dari para penggiat pendidikan. Jangan sampai anak-anak kita kelak hanya menjadi manusia kelas dua karena lahir dari sekolah dan perguruan tinggi kelas dua. Mereka yang bisa masuk perguruan tinggi seperti ITB, UI, UGM, dan banyak lagi perguruan tinggi yang memiliki predikat terbaik kebanyakan dari kalangan mampu, walaupun ada dari kalangan tidak mampu yang bisa masuk ke sana mereka masuk melalui jalur prestasi dan beasiswa itupun jumlahnya hanya sedikit sekali. Tugas kita sebagai orang tua menyiapkan anak-anak kita dengan pendidikan yang baik untuk masa depan mereka kelak di kemudian hari. Saya teringat akan ucapan Guru saya Almarhum KH. Syafii Munandar (Pimpinan Pondok Pesantren Daarul Fudlola periode tahun 2000-2007) beliau berkata : “Seandainya saya bisa bahasa inggris mungkin saya tidak hanya berdakwah di Malaysia, Singapura dan Dubai, tapi saya akan berdakwah sampai ke Eropa, tapi sayang saya hanya bisa bahasa Arab jadi dakwah saya hanya bisa di negara-negara tersebut”. Maka dari itu beliau selalu berpesan kepada murid-muridnya agar lebih banyak lagi menuntut ilmu, bukan hanya Ilmu Agama tapi juga ilmu umum karena tantangan dakwah ke depan lebih berat dari sekarang. Beliau juga berpesan agar tidak terjadi dikhotomi ilmu pengetahuan (pemisahan antara bidang ilmu agama  ilmu-ilmu umum), Semua ilmu yang ada di dunia ini adalah milik Allah SWT. Sehingga dari sistem pendidikan ini akan melahirkan Ulama yang Intelek dan Intelektual yang Ulama. Pada akhirnya dari lembaga pendidikan  Islam ini kita bertumpu dalam mendidik anak-anak kita karena lembaga pendidikan merupakan wadah mengkaji dan menanamkan risalah ilahiah. Pendidikan di dirikan atas dasar pewarisan, pengkajian, dan pengembangan risalah ilahiah itu. Pendidikan berfungsi mewariskan pesan-pesan ilahiah dari generasi ke generasi sehingga ia tetap eksis, lestari, atau kekal sepanjang eksisnya manusia di bumi ini.[1]

B.  Reformasi Lembaga Pendidikan Islam Dalam Menghadapi AFTA 2016 dan APEC 2020
            Dalam perkembangannya Lembaga pendidikan Islam telah melewati berbagai tantangan dan rintangan yang tidak mudah dalam menegakkan eksistensinya sebagai lembaga penjaga moral dan akhlak bagi bangsa Indonesia ini. Di mulai dari sistem pendidikan Surau, Masjid, lalu menjelma menjadi Pesantren dan Madrasah, lembaga pendidikan  ini terus menjadi juru kunci bagi perkembangan sistem pendidikan di Indonesia. Surau adalah lembaga pribumi yang menjadi pusat pengajaran Islam yang menonjol, juga menjadi titik tolak Islamisasi Minangkabau.[2] Lahirnya surau sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam membuat perubahan yang besar bagi Masyarakat minangkabau walaupun pada akhirnya harus menyesuaikan dengan perkembangan jaman dengan lahirnya sistem pendidikan pesantren yang di bawa dari Jawa dan desakan masuknya madrasah dalam sistem pesantren. Pesantren adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional, di mana para santri tinggal dan belajar bersama di bawah bimbingan seorang Kiai.[3] Asrama para santri tersebut berada di komplek pesantren , di mana sang kiai juga bertempat tinggal di situ dengan fasilitas utama berupa mushola/langgar/ masjid sebagai tempat ibadah, ruang belajar, dan pusat kegiatan keagamaan lainya. Tradisi keilmuan islam klasik berkembang di Asia tenggara berasal dari dari tanah Kurdisan kawasan Hijaj, yang di bawa oleh para penunut ilmu yang belajar di tanah suci. Sehingga pada awal abad 19 kurikulum universal pesantren bersumber pada dominasi tradisi keilmuan Islam di tanah hijaj oleh para ulama hijaj, yang mayoritas bermajhab syafii. Selama dua abad lamanya para ulama jawa telah menyerap tradisi dari kawasan timur tengah itu, untuk di jadikan standar baku bagi kawasan kepulauan nusantara. Nama-nama besar seperti syech Arsyad banjar, Syekh Abdul Karim Banten, Syekh abd Al-shamad Palembang, syekh Saleh Darat di Semarang, Syekh Abd Al-Muhyi Pamijahan Tasiki malaya, Syekh Mahfudz Termas di Pacitan, Syekh khalil Bangkalan, dan syekh Hasyim asyari Tebuireng di jombang, merupakan perwakilan utama tradisi Kurdi di Kepulauan Nusantara.[4]
            Banyak kritik yang pedas terhadap sistem pendidikan Pesantren ini namun Karel A. Steen Bring yang menulis buku tentang Pesantren Madrasah dan Sekolah mengemukakan : “Untuk pengajaran agama pesantren memang tidak memberikan hasil yang paling baik dalam pengajaran formal, namun pengaruh agamis yang di hasilkan dari lingkungan yang khas, disiplin dalam menegakan sholat dan pelaksanaan kewajiban islam lainya, justru yang lebih penting dari pengajaran formal.[5] Dalam tulisanya tersebut Karel A. Steen Bring ingin mengungkapkan tradisi pesantren yang dapat merubah jiwa seorang santri yang memiliki prilaku yang baik dengan sistem pendidikan yang di bangun oleh pesantren. Tidak semua harapan para santri dan orang tua setelah mereka keluar dari pesantren menjadi seorang ulama tapi mereka menginginkan kelak menjadi orang Islam yang baik. Tapi bagi mereka yang ingin menjadi ulama harus mengikuti sebagian besar kurikulum yang ada di pesantren tersebut, bahkan untuk menjadi seorang ulama yang memiliki ilmu pengetahuan Agama yang tinggi perlu belajar dengan kiai atau ulama lain, di pesantren yang berbeda. Biasanya guru yang akan mereka datangi merupakan hasil rekomendasi dari kiai, di mana para santri belajar sebelumnya.
            Tradisi mengaji dengan kiai dari satu pesantren ke pesantren yang lain (Santri kelana) mulai hilang dengan masuknya sistem pendidikan Madrasah ke Pesantren pada tahun 1920-an, karena para santri harus menyelesaikan jenjang pendidikan dari mulai Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah lalu ke Madrasah Aliyah. Setelah mendapatkan Ijazah mereka di wajibkan mengabdikan diri mengajar di pesantren tempat mereka belajar. Setelah beberapa lama mereka mengabdi sesuai waktu yang di sepakati, mereka bisa keluar dari pesantren untuk mengajar di pesantren lain atau menjadi da’i (Juru Dakwah) di masyarakat. Akan tetapi bagi para santri yang di minta untuk menjadi Ustadz (guru) di pesantern tersebut sulit bagi mereka untuk menolaknya. Karena adanya hubungan  yang sangat dekat antara murid dengan sang guru, bahkan ada sebagian dari mereka yang di jadikan menanti sang kyai tersebut. Menurut Zamakhsyari Dhofier dengan masuknya sistem Madrasah ke pesantren menjadikan keuntungan tersendiri bagi pesantren yaitu keberhasilan para kiai mengkonsolidasikan kedudukan pesantren dalam menghadapi perkembangan sekolah-sekolah belanda.[6] Dalam tahun 1920-an dan tahun 1930-an santri di beberapa pesantren mengalami lonjakan jumlah santri yang sangat besar, terutama pesantren Tebuireng memiliki santri pada saat itu berjumlah 1500 orang. Walaupun lembaga pendidikan umum tingkat menengah banyak di dirikan oleh pemerintah belanda tapi lembaga ini di isi oleh sebagian besar orang-orang eropa yang menetap di indonesia. Sampai akhirnya pemerintah Hindia belanda memperluas sekolah type orang-orang eropa untuk golongan pribumi namun jumlah lembaga dan santri lembaga pendidikan Islam lebih banyak jumlahnya jika di bandingkan dengan sekolah-sekolah buatan pemerintahan kolonial belanda. Sampai akhirnya dominasi pesantren mulai menurun setelah Indonesia merdeka, setelah pemerintah mengembangkan sistem pendidikan umum dan jabatan-jabatan administrasi modern terbuka luas bagi bangsa indonesia yang terdidik dalam sekolah umum.
                Walaupun jumlah sekolah umum yang di dirikan oleh pemerintah Indonesia semakin bertambah namun tidak menyurutkan niat pemuda-pemuda Islam Indonesia untuk mengenyam pendidikannya di Pesantren.  Hal ini terjadi karena para kiai begitu cerdas membaca keadaan dengan menyelenggarakan sekolah-sekolah umum dalam pesantren. Akhirnya jumlah pesantrenpun semakin bertambah. Pada tahun 1942 jumlah pesantren di Indonesia hanya 2300 dan pada tahun 1998 bertambah menjadi 7600 pesantren. Menurut Zamakhsyari Dhofier lembaga pesantren pada tiga dasawarsa tersebut dapat di kelompokan menjadi dua type besar yaitu : 1). Tipe lama (klasik) yang inti pendidikanya mengajarkan kitab-kitab Isdlam Klasik.walaupun sistem Madrasah di terapkan, tujuanya untuk memudahkan sistem sorogan yang di pakai dalam lembaga-lembaga pengajian bentuk lama. Tipe ini tidak mengenalkan pengajaran pengetahuan umum. Masih cukup besar pesantren yang mengikuti pola ini, yaitu, pesantren Lirboyo dan Ploso di Kediri, Pesantren Maslahul Huda di Pati, dan pesantren Tremas di Pacitan. 2). Tipe baru, yaitu mendirikan sekolah-sekolah umum dan madrasah-madrasah yang mayoritas mata pelajaran yang di kembangkanya bukan kitab-kitab Islam klasik. Pesantren-pesantren besar seperti Tebuireng dan Rejoso di Jombang telah membuka SMP, SMA dan Universitas; meskipun di pertahankan, porsi pengajaran kitab-kitab Islam klasik tidak memadai, mungkin di sebabkan jumlah pengajar kitab-kitab Islam Klasik tidak mencukupi di bandingkan dengan kebutuhan. Apalagi pertumbuhan jumlah lembaga pesantren mencapai tiga kali lipat antara tahun 1998 dan 2010.[7]  Banyak lembaga Pesantren yang bertahan sampai saat ini namun banyak pula yang hanya tinggal nama saja. Hal itu terjadi karena tidak berjalannya proses kepemimpinan di pesantren tersebut setelah meninggalnya sang kia dan tidak ada anak atau cucunya yang memiliki kharisma seperti pemimpin sebelumnya. Oleh sebab itu perlu adanya proses transformasi kepemimpinan. Dalam proses transformasi kepemimpinan aspek kompetensi harus selalu menjadi syarat utamanya. Kompetensi seorang pemimpin  di pesantren meliputi kharisma, kwalitas keilmuan, kepribadian, kemampuan manajerial, dan keikhlasan untuk menerima amanah.[8]
            Lahirnya lembaga-lembaga Pesantren yang di dirikan oleh kalangan Salafi puritan menjadi tren yang menarik untuk di kaji, walaupun jumlah mereka tidak terlalu banyak hanya sekitar 50 pesantren di seluruh indonesia. Munculnya lembaga-lembaga pendidikan ini menjadi tantangan tersendiri bagi kaum Santri dan para kiai dari Pesantren Salafiah yang berafiliasi dengan Nahdatul Ulama. Karena ajaran yang di bawa oleh kaum salafi puritan ini sangat berbeda dengan semangat keagaman yang di ajarkan di pesantren-pesantren salafiah yang menamakan dirinya Ahlussunah waljamaah. Isu bid’ah dan khurafat menjadi senjata mereka dalam melakukan proses mentakfiran kaum tradisional NU ini. Pesantren salafi memberikan perhatian khusus terhadap doktrin salafisme, sebagian besar ajaran Muhammad Ibn Abd al-Wahhab.[9] Doktrin-doktrin ini dapat ditelusuri kembali ke periode sebelumnya, pada ajaran Ibn Taimiyah dan Ahmad bin Hambal. Pada periode kontemporer, abdul Aziz bin abdullah baz dan Muhammad Nasir al-Din al-Albani adalah salah satu pendiri salafi yang paling berpengaruh. Kitab-kitab Salafi, seperti kitab Al-tauhid dan Al-ushul al-Thalatha oleh Ibn Abd al-Wahhab dan al-aqidah al-wastiyya oleh Ibn Taimiyah adalah salah satu buku teks utama yang digunakan dalam pesantren salafi. Semua karya-karya ini sangat berbeda dari yang dipelajari di pesantren salaf (tradisional) seperti yang dijelaskan oleh Martin Van Brouinessen. Pesantren salafi tidak sama dengan pesantren salafiah yang berhubungan dengan NU.
            Walaupun semua salafi menyepakati prinsip-prinsip dasar dari manhaj salafi, mereka jauh dari monolitik. Ada tiga kecenderungan utama dalam gerakan salafi yaitu "Furist," Haraki ", dan" Jihadi“.[10] Perbedaan utama di antara mereka menyangkut sikap mereka terhadap penguasa atau pemerintah. Masalah utama mengenai hal ini adalah untuk apa Muslim mematuhi pemerintah dan sejauh mana mereka harus mematuhinya. Kelompok Furist mendesak Muslim untuk menyerah kepada penguasa tanpa syarat artinya mereka mengikuti saja apa yang di putuskan oleh pemerintah termasuk idiologi, sedangkan "haraki" berpendapat bahwa kesetiaan dan loyalitas kepada pemerintah bukan tanpa kondisi. Bagi mereka, loyalitas kepada pemerintah adalah tergantung pada penyerahan hukum Tuhan. Ketika pemerintah gagal menerapkan syariah, Seorang Muslim tidak diwajibkan untuk mematuhi. Ini berarti bahwa "haraki" salafi meninggalkan ruang untuk ketidaktaatan pada pemerintah, bagaimanapun seorang Muslim hanya dapat menunjukkan ketidaksetiaan ini melalui cara-cara damai seperti kritik verbal dan mengorganisir demonstrasi di jalan-jalan. Sementara itu, "jihad" faksi lebih jauh lagi dengan melegitimasi tindakanya dari tindakan kekerasan terhadap penguasa dan akhirnya menggulingkan penguasa. Perbedaan antara "haraki" dan "jihad" adalah sedikit, dan oleh karena itu, salafi "haraki" mungkin mudah bergerak dan berubah menjadi salafi "jihad"
Mayoritas salafi indonesia jatuh ke dalam gerakan pemikiran yang pertama yaitu kategori "Furist", dalam kategori ini, Din wahid membagi mereka menjadi "penolak", cooperationist "dan" tanzimi. Purist (penolak) eksklusif karena mereka menolak semua kerja sama dengan hizby (partisan, yang berbentuk divisi) orang dan organisasi. Dalam bidang pendidikan, mereka menolak kurikulum Nasional. Mantan aktivis Laskar jihad itu jatuh; dalam kategori ini. "Cooperationist" puritan yang lebih inklusif dalam kolaborasi mereka dengan kelompok-kelompok Muslim lainnya dan pemerintah. Abu Nida dan kelompoknya yang menerima hibah dari jami'iyyat Ihya 'al-Turats dapat diklasifikasikan antara faksi ini. The "tanzimi" adalah kelompok salafi yang mengadopsi format organisasi, seperti Wahdah Islamiyah di Makassar. Selain Furist, ada sejumlah kecil salafi yang dapat diidentifikasi sebagai "haraki" atau "jihad". Pesantren Ngruki dikategorikan sebagai "haraki", sedangkan pembom bali jatuh ke dalam katagori "jihad". Ngruki, misalnya, sering mengkritisi pemerintah karena menolak untuk menerapkan syariah.
Pesantren salafi menawarkan berbagai program pendidikan dari TK sampai tingkat perguruan tinggi, dan mereka telah mengembangkan kurikulum mereka sendiri. Muncul beberapa perbedaan di antara mereka. Pesantren terkait dengan "Furist" salafi menawarkan program, terutama Tahfiz, dan tadrib al-Du'at. Mereka telah mengadopsi kurikulum mereka dari Yaman dan hanya mengajarkan pelajaran agama. Dengan  program ini mereka ingin menduplikasi darul hadits, pusat pembelajaran salafi yang didirikan oleh Sheikh Muqbil di Damaj, Yaman, di mana banyak salafi "Furist" yang telah lulus. Satu-satunya mata pelajaran sekuler pesantren ini mengajarkan kepada siswa mereka adalah bahasa indonesia dan matematik. Mata pelajaran ini diperlukan karena mereka tinggal di Indonesia dan bahasa indonesia merupakan alat untuk komunikasi sehari-hari. Sementara matematika penting dalam melakukan bisnis. Untuk mengembangkan kegiatan sosial kemasyarakatan salafi menawarkan berbagai program pendidikan di antaranya ; TK, SD, Tsanawiyah, Aliyah, dan Ma'had Alyi. Pesantren ini, seperti Al-furqan dan Assunah, menunjukkan kecenderungan yang lebih inklusif dari "Furist" rekan-rekan salafi mereka. Mereka telah mengadopsi kurikulum nasional untuk mata pelajaran agama. Mereka mengajarkan semua mata pelajaran sekuler yang digariskan oleh pemerintah dan membiarkan siswa mereka berpartisipasi dalam program pemerintah sehingga mereka melanjutkan studinya ke tingkat yang lebih tinggi di sekolah umum.
            Metodologi yang digunakan dalam salafisme mengajar bervariasi sesuai dengan usia siswa. Anak-anak di tingkat TK dan SD, misalnya, mengajarkan dasar-dasar salafisme dengan cara yang sederhana,  seperti menghafal doa-doa berdasarkan hadits yang diterima dan tidak mengajarkan mereka untuk menyanyikan lagu-lagu atau menggambar makhluk hidup seperti hewan dan orang. Sedangkan, siswa di tingkat yang lebih tinggi belajar salafisme dengan mempelajari buku-buku tek pelajaran dan mereka harus menghafal pelajaran, terutama dalils (Argumen agama). Lebih penting lagi, pesantren salafi tidak hanya mengajar siswa mereka tentang salafisme tetapi juga merangsang mereka untuk berlatih manhaj salafi dalam kehidupan sehari-hari seperti dengan memakai jalabiya (Celana panjang yang tidak melebihi lutut kaki), olahraga, menggunakan jenggot panjang, menghindari isbal, dan makan makanan bersama-sama satu nampan besar. Semua praktik ini bertujuan membiasakan mereka dengan manhaj sehingga mereka menjadi salafi sejati (Salafi kaffa).
Masyarakat Muslim telah merespon dalam berbagai cara dengan munculnya pesantren salafi di daerah mereka. Muslim tradisionalis dari NU menjelma menjadi oposisi yang kuat terhadap salafisme. Tindakan yang mereka lakukan berkisar dari serangan verbal sampai ke tindakan kekerasan. Alasan utama pertentangan mereka di picu oleh sikap kaum salafi 'terhadap muslim lainnya. Kritik salafi dari keyakinan agama dan masyarakat setempat telah menimbulkan kemarahan masyarakat, terutama para pemimpin agama. Untuk para pemimpin ini, salafi mempertanyakan argumen dalil terhadap praktek ibadah kaum NU. Seperti tahlilan, bagi orang yang meninggal dunia, talkin bagi mayit, Maulid Nabi dan beberapa praktek ibadah yang di anggap bid’ah oleh mereka. Dalam masa Reformasi ini seluruh masyarakat di berikan kebebasan yang luas untuk memilih keyakinan mereka termasuk memilih paham agama yang mereka yakini. Namun perbedaan yang ada jangan di jadikan sumber perpecahan di kalangan umat Islam. Selama mereka masih mengakui Alquran sebagai kitab suci, dan Nabi Muhamad SAW sebagai Nabi dan Rasul, masih menjalankan Rukun Islam, percaya pada Rukun Iman. Mereka semua adalah saudara kita. Adapun perbedaan cara beribadah dalam masalah Fiqhiah jangan di perbesar. Kita saling menghormati dan menghargai serta tidak menyalahkan cara beribadah saudara kita yang bermajhab beda. Kalau prinsif ini di jalankan niscaya kerukunan di antara kaum muslimin akan terjalin erat dan Rahmat Allah SWT akan turun.
            Pada masa pemerintahan Hindia belanda dan jepang Lembaga pendidikan Islam tidak mendapatkan tempat dan tidak di akui sebagai sebuah sistem pendidikan di negeri ini karena alasan politik. Kemudian setelah Indonesia merdeka lahirlah Undang-Undang sistem pendidikan N0. 4 tahun 1950 dalam UU Sisdiknas ini juga belum mengakui lembaga pendidikan Islam sebagai sebuah sistem pendidikan yang turut mencerdaskan anak bangsa. Yang di akui oleh pemerintah hanya Sekolah umum setingkat, SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi Umum. Sedangkan Madrasah (Lembaga Pendidikan yang di selenggarakan oleh masyarakat) yang menyelenggarakan Raudhatul Athfal (RA), Madrasah Ibtidaiyah(MI), Madrasah Tsanawiyah (MTS), Madrasah Aliyah (MA), dan Perguruan Tinggi Agama Belum diakui oleh pemerintah. Demikian juga beberapa lembaga pendidikan yang lahir dari masyarakat seperti : Pendidikan Keagamaan, Pengajian Alqur’an di surau dan masjid, Dinia Ula, Dinia wusto dan Ma’had Ali belum mendapat tempat dalam sistem pendidikan nasional. Kemudian lahirlah Undang-Undang Sisdiknas No.2 tahun 1989 yang mengakui Madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan Nasional akan tetapi Pendidikan yang di selenggarakan oleh masyarakat seperti: Pendidikan Keagamaan, Pengajian Alqur’an di surau dan masjid, Dinia Ula, Dinia wusto dan Ma’had Ali, belum di akui sbagai bagian dari sisitem pendidikan Nasional. Berkat kerja keras para ulama dan tokoh masyarakat lewat lembaga MPR dan DPR maka lahirlah lahirnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 2003 dan secara resmi Pemerintah telah mengakui semua lembaga pendidikan Islam baik yang di selenggarakan oleh Yayasan Pendidikan Islam, Lembaga pesantren dan Masyarakat termasuk Pendidikan Keagamaan, Pengajian Alqur’an di surau dan masjid, Dinia Ula, Dinia wusto dan Ma’had Ali.
            Dengan di akuinya lembaga pendidikan  Islam sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional membuka peluang bagi lulusan lembaga pendidikan Islam serperti Madrasah dan Pesantren untuk berkiprah dalam berbagai macam profesi termasuk menjadi tokoh politik, pegawai pemerintahan, akademisi dan teknokrat. Dengan kebijakan ini tidak hanya meninggalkan kesan yang positip akan tetapi menimbulkan masalah baru. Dengan berkurangnya kurikulum keagamaan di Madrasah-Madrasah yang sebelumnya 70 % bermuatan Agama dan 30% bermuatan Umum menjadi terbalik 70 % bermuatan Umum dan 30% bermuatan Agama, membuat madrasah tidak lagi menjadi lembaga pencetak Ulama sehingga sedikit sekali lahir para ulama seperti Buya Hamka, KH. Hasyim Ashari KH Ahmad Dahlan dan tokoh-tokoh Ulama yang lain yang memiliki Ilmu Pengetahuan Islam yang luas. Setelah lahirnya Undang-Undang Sisdiknas No. 2 Tahun 2003 membuka peluang bagi lembaga pendidikan Islam menyelenggarakan Pendidikan Agama seluas-luasnya tetapi tidak keluar dari sistem tersebut. Dalam Undang-udang ini kelembagaan pendidikan agama di sebutkan langsung secara eksplisit tentang jenis, jalur dan jenjang pendidikanya. Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagaman, dan khusus. Pendidikan dasar berbentuk Sekolah dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama(SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTS) dan bentuk lain yang sederajat. Pendidikan Menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas(SMA) dan Madrasah Aliyah (MA) Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan pada Usia Dini pada jalur pendidikan  Formal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA) dan bentuk lain yang sederajat. Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan di kembangkan dengan prinsif diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.[11]
            Kalau kita cermati dalam Undang-Undang Sisdiknas tersebut memberikan peluang kepada Lembaga Pendidikan Islam termasuk Pesantren untuk membuat Kurikulum Khas pesantren yang di kembangkan sendiri sesuai dengan kebutuhan umat Islam saat ini yaitu mencetak Ulama yang Intelek dan Intelektual yang Ulama. Prof Dr. Jusuf Amir Feisal berpendapat dengan berbagai kebijakan pendidikan yang ada sekarang pada suatu saat lembaga pendidikan ini akan berubah menjadi lembaga pendidikan yang berorientasi pada ketenagakerjaan yang hanya menghasilkan buruh, tidak lagi menyiapkan wiraswasta yang mandiri atau ulama yang menjadi reformer dan pewaris para nabi untuk memelihara dan mengembangkan agama. Oleh karena itu harus ada Usaha penyelamatan lembaga pendidikan Islam, sementara usaha “pengakuan” akan adanya kebutuhan akan kepuasan lahir material mendapatkan tempat yang proporsional dalam sistem pendidikan Islam. Lembaga pedidikan Islam di tata kembali sehingga program pendidikanya berorientasi pasa pencapaian dan penguasaan kompetensi tertentu baik yang berhenti maupun yang tersambung.[12]
            Menurut Prof Dr. Abudinata ada sembilan arah pembaharuan pendidikan di era kontemporer ini. Pertama,  dari segi pengelolaan lembaga pendidikan memadukan kinerja kerja profesional dengan bisnis Nirlaba. Kedua, Lembaga pendidikan harus mengembangkan model pembelajaran kolaboratif dan inovatif dengan student centris dan dan teacher centris. Ketiga, Lembaga pendidikan harus membangun kerja sama untuk branch marking. Keempat, Penguatan pendidikan agama yang transformatif dan dapat menjawab tuntutan masyarakat (social Expectation), kelima penguatan dalam bidang hight technologi pada segi pelayanan administrasi pengajaran dan lainya. Keenam, peningkatan SDM (Sumber Daya Manusia) melalui ISO, dan TQM (Total Quality Management) ada enam langkah yang harus di penuhi dalam TQM yaitu : Visi memuaskan pelanggan, Perbaikan terus menerus, Di dukung oleh tim yang kompak, Kepemimpinan yang efektif, Budaya yang di laksanakan kemudian menjadi culture, reword dan funisment. Ketujuh Mengembangkan manajemen yang memuaskan pelanggan dan berbasis perilaku. Kedelapan Pemerataan pendidikan yang berkwalitas. Kesembilan Menerapkan model pembaharuan yang memelihara tradisi lama. Kesepuluh dalam membentuk tim pengkaji dan pengembang (Research and development), harus di isi oleh orang-orang yang handal, kompak, memiliki komitmen yang tinggi, pekerja keras, memiliki visi yang unggul, dedikatif dan amanah.[13] Selain itu perlu adanya perencanan pendidikan yang matang sehingga ketika membangun lembaga pendidikan Islam semua komponen yang ada dapat di berdayakan semaksimal mungkin. Namun demikian perencanaan pendidikan memerlukan waktu yang cukup lama karena dalam  pelaksanaannya tidak dapat di ukur dan di nilai secara tepat. Khususnya dalam bidang pendidikan yang bersifat kualitataif, apalagi dari sudut pendidikan nasional.[14] Karakteristik perencanan pendidikan tersebut di tentukan oleh konsep dan pemahaman tentang pendidikan.
            Dr. KH Badrudin Hsubki Pendiri Pesantren Al-Badar Kota Bogor dan juga dosen di Universitas Ibn Khaldun Bogor, telah mengembara dan belajar ke puluhan Pesantren di Indonesia. Di dalam Disertasinya tentang Konsep Ulama dan Proses Pendidikannya, beliau berpendapat harus ada sebuah lembaga pendidikan Islam yang dapat melahirkan para ulama yang tidak hanya mengajarkan Ilmu-ilmu Keagamaan (Tafaquh Fiddin) seperti tafsir ilmu tafsir, Asbabunujul, Asbabul wurud, Nahwu, Sharaf, Akhlak tasawuf, Ilmu kalam, Ilmu marifat, Ilmu suluk, Fiqh, Ushul Fiqh, Qaidah fiqih, Tauhid, Akhlak Tarik dan lainya tapi juga harus di berikan ilmu yang lain seperti Manajemen, Ilmu politik, Psikologi, Ilmu pendidikan, Ilmu Politik dan sebagainya.[15] Menurut beliau tantangan ke depan bagi dunia dakwah semakin berat, karena seorang ulama memiliki beberapa fungsi dalam masyarakat, ulama adalah seorang pendidik, pengajar, pembimbing, dan pengayom, sekaligus sebagai figur sentral di tengah-tengah masyarakat yang majemuk. Selain bertugas mendidik, membimbing ketauhidan, dan menuntun ke jalan ibadah dan memperbaiki akhlak, ulama juga dapat mempersempit gerak, langkah dan usaha pemurtadan kaum kafir terhadap umat islam. Sebagaimana di kemukakan oleh Aly Al-Kurni ketika mengutip hadis Nabi Muhamad SAW yang artinya “ kelak bakal terjadi suatu bencana (yang menakutkan ), pada pagi hari seorang muslim beriman, namun sore harinya ia menjadi kafir, kecuali (yang akan di jaga dari bencana) adalah orang–orang (Ulama) yang di hidupkan oleh Allah dengan (mengamalkan) ilmunya. (HR. Imam Addaelimi). Di dalam lembaga pencetak para Ulama tersebut, Dr KH. Badrudin Hsubki mengasumsikan, jika seorang anak masuk pada usia 15 tahun dia baru tamat dan menjadi seorang Ulama dengan gelar syech setingkat Doktor (S3) pada usia 26 tahun, dan jika masuk ke lembaga tersebut pada usia 18 tahun tamat dari SMU dia baru tamat dan menjadi seorang ulama dengan gelar syech setingkat doktor pada usia 29 tahun. Sesuai dengan UU Sisdiknas No.2 tahun 2003 pasal 8 ayat 1, di harapkan dari lembaga pendidikan Islam ini akan lahir siswa yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan menjadi ahli ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, inovatif, dan dinamis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia.

C.    KESIMPULAN
            Dalam menghadapi Perdagangan bebas sesuai dengan kesepakatan AFTA dan APEC, lembaga pendidikan Islam harus mereformasi bentuknya termasuk kurikulum di dalamnya. Dengan cara mengawal pemerintah melahirkan kebijakan-kebijakan pendidikan yang tidak mendiskriminasikan umat Islam termasuk di dalamnya lembaga pendidikan Islam, sehingga Pembaharuan Sistem pendidikan Nasional selalu dilandasi oleh Sistem pendidikan Islam. Selain itu berbagai macam tradisi keilmuan yang merupakan warisan pera ulama terdahulu seperti Madrasah dan Pesantren harus di pertahankan terutama dalam Tradisi Keilmuan dan praktek keagamaan seperti santri salaf dan santri kelana. Akan tetapi tradisi keilmuan tersebut harus bertransformasi (menyesuiakan diri ) dengan keadaan jaman yang semakin meng-global ini. Untuk melestarikan Pesantren perlu adanya transformasi kepemipinan kiai. Dalam proses transformasi kepemimpinan aspek kompetensi harus selalu menjadi syarat utamanya. Kompetensi seorang pemimpin  di pesantren meliputi kharisma, kwalitas keilmuan, kepribadian, kemampuan manajerial, dan keikhlasan untuk menerima amanah.
            Berbagai macam bentuk lembaga pendidikan Islam muncul sebagai jawaban atas tantangan dan kebutuhan umat Islam dalam menghadapi berbagai persoalan dalam masyarakat. Berawal dari Surau, Masjid lalu menjelma menjadi Pesantren dan Madrasah. Lembaga pendidikan Islam terus meningkatkan kwalitasnya dengan melengkapi berbagai macam sarana dan prasarana sehingga Pesantren dan sekolah Islam menjadi lembaga yang di minati oleh masyarakat terutama kaum elit muslim. Dahulu pesantren dan madrasah di pandang sebelah mata oleh sebagian masyarakat tapi belakangan ini dengan lahirnya Madrasah Pembangunan dan Madrasah Plus menjadi daya tarik tersendiri di kalangan kaum muslimin. Mereka berebut memasukan anak mereka ke lembaga pendidikan tersebut walaupun dengan biaya yang mahal. Banyaknya kaum Urban di perkotaan melahirkan kaum elit baru termasuk kaum elit muslim, mereka yang berpenghasilan lebih menginginkan pendidikan yang terbaik buat anak mereka. Berawal dari keprihatinan kaum cendekiawan muslim dengan banyaknya kaum muslimin yang memasukan anaknya ke sekolah elit Katolik membuat mereka berpikir mendirikan Lembaga Pendidikan Islam yang berkwalitas.
            Dari pemikiran tersebut maka lahirlah sekolah Islam seperti Al-Azhar, Madaniah School, dan Sekolah Islam Terpadu. Berdirinya lembaga pendidikan bagi kaum elit muslim menimbulkan masalah baru dalam masyarakat, mereka yang tidak mampu menyekolahkan anak mereka ke sekolah tersebut hanya bisa memadukan anak-anak mereka ke sekolah dan Madrasah Islam yang memiliki keterbatasan fasilitas dan Sumber Daya manusia, karena sebagian sekolah tersebut murni di biayai oleh masyarakat. Walaupun sekolah mendapatkan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) namun tidak mencukupi untuk biaya operasional sekolah yang begitu besar. Pada kenyataannya di masyarakat orang miskin hanya dapat menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah untuk siswa miskin. Sehingga Universitas-Universitas Negeri dan Swasta yang berkwalitas di penuhi oleh mereka yang berasal dari kalangan mampu walaupun ada diantara mereka yang berasal dari kalangan tidak mampu tapi jumlahnya hanya sedikit. Dengan demikian perlu adanya terobosan baru dari para penentu kebijakan dan pakar pendidikan untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi kaum tidak mampu menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah yang berkwalitas. Mereka tidak perlu sekolah ke Al-Azhar atau Madaniah school dan sekolah-sekolah elit muslim lainya. Akan tetapi sekolah-sekolah elit tersebut dapat memberikan kontribusi kepada sekolah-sekolah Islam di sekitar mereka dengan memberikan bantuan fasilitas dan pelatihan guru. Jika kerja sama ini di jalankan niscaya kesenjangan antara siswa di sekolah elit muslim dengan siswa yang bersekolah di sekolah/madrasah sekitar tidak akan terjadi.
            Lahirnya lembaga pendidikan pesantren dan sekolah dari kaum salafi puritan turut memberikan kontribusi pendidikan islam di Indonesia. Perbedaan pandangan dengan masyarakat muslim lain di indonesia dan kecenderungan kaum salafi menyalahkan praktek ibadah kaum Nu membuat kemarahan sebagian masyarakat terhadap mereka. Sehingga sempat terjadi kekerasan seperti yang terjadi di lombok dan daerah lainya. Menyikapi hal tersebut perlu adanya pamahaman akan pentingnya persatuan dan kesatuan di kalangan kaum muslimin. Sebagaimana yang di contohkan oleh Muhamadiah dan Persis, pada awalnya keberadaan mereka tidak di akui oleh masyarakat indonesia yang sebagian besar berafiliasi dengan Nahdatul Ulama (NU) yang bermajhab Ahlussunah walajamah yang memakai Fiqh empat Imam majhab yaitu : Syafii, Maliki, Hanafi dan Hambali dalam bidang Tauhid menganut ajaran Imam Abu Hasan Al-asyari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi dan dalam bidang tasawuf menganut ajaran Imam Abu Qosim Al-Junaid. Pada akhirnya mereka sadar untuk di akui keberadaannya perlu memiliki sikap yang toleran terhadap masyarakat Nu yang sudah menganut Majhab Ahlussunah wal jamaah di Indonesia selama lebih dari 800 tahun.[16] Apa yang telah di lakukan oleh Muhamadiah dan Persis sebaiknya di ikuti oleh kaum Salafi Puritan karena jika hal tersebut dapat dilakukan  alangkah indahnya dunia ini karena persatuan dan kesatuan di kalangan kaum muslimin dapat terwujud dan kedamaian akan di rasakan oleh semua umat manusia. Sejarah telah membuktikan di mana kaum muslimin mayoritas kaum minoritas akan sangat terlindungi hak-hak hidup mereka. Tapi sebaliknya jika kaum muslimin minoritas, mereka akan mendapatkan perlakuan yang tidak adil.
            Selain beberapa hal di atas dalam melakukan reformasi Lembaga Pendidikian Islam perlu adanya perencanan pendidikan yang matang sehingga ketika membangun lembaga pendidikan Islam semua komponen yang ada dapat di berdayakan semaksimal mungkin. Namun demikian perencanaan pendidikan memerlukan waktu yang cukup lama karena dalam  pelaksanaannya tidak dapat di ukur dan di nilai secara tepat khususnya dalam bidang pendidikan yang bersifat kualitatif, apalagi dari sudut pendidikan nasional. Buah Kesabaran dari penggiat pendidikan ini pada suatu saat nanti akan berbuah manis. Dan pembaharuan yang mereka lakukan akan dapat di rasakan manfaatnya oleh generasi selanjutnya karena di tangan mereka kelanjutan tradisi keilmuan dan keislaman ini akan di wariskan kepada generasi mereka selanjutnya dan demikian seterusnya.

DAFTAR PUSTAKA

Kadar, M. Yusuf,  Tafsir Tarbawi, Pesan-Pesan Al-qur’an Tentang Pendidikan, (Jakarta : Amzah, 2013)
Azra, Azyumardi, Surau, Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003)
Subahar, Abdul Alim, Modernisasi Pesantren, study transformasi kepemimpinan kiai dan sistem Pendidikan Pesantren, (Yogyakarta : PT. LKIS Printing Cemerlang, 2013)
Van bruinessen, Martin , Kitab Kuning  Pesantren dan Tarekat,(Bandung: Ikapi, 1995)
A.Steenbring, Karel, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam kurun Modern, (Jakarta : PT. Pustaka LP3ES, 1986)
Dhofier, Zamakhsyari,Tradisi pesantren, Study Pandangan hidup klyai dan visinya mengenai masa depan Indonesia,(Jakarta : LP3ES, 2011)
Wahid, Din, Nurturing The Salafi Manhaj : A Study of Salafi Pesantrens in Contemporary Indonesia, (Maandag : Utrecht University, 2014)
Rosyadi, A. Rahmat, Pendidikan  Islam dalam Perspektif Kebijakan pendidikan Nasional,( Bogor: PT. Penerbit IPB Press, 2014
Amir Feisal, Jusuf, Reorientasi Pendidikan Islam, ( Jakarta: Gema Insani Press,1995)
Abudinnata, Catatan Kuliah Reformasi Pendidikan islam (Jakarta : UIN Syrif Hidayatullah tanggal 18 maret 2015)
Hasyim Subky, Badruddin, Konsep Ulama dan Proses pendidikannya, Pendekatan Metode Tafsir Maudhu’i biddirayah (Bogor : Program Pasca sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor,  2011)
Saefudin Sa’ud, Udin dan Syamsudin Makmun, Abin , Perencanaan Pendidikan Suatu Pendekatan Komprehensif, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2005)




                [1] Kadar M. Yusuf, Tafsir Tarbawi, Pesan-Pesan Al-qur’an Tentang Pendidikan, (Jakarta : Amzah, 2013), 13.
                [2] Azyumardi Azra, Surau, Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003), 34.
                [3] Abdul Alim Subahar, Modernisasi Pesantren, study transformasi kepemimpinan kiai dan sistem Pendidikan Pesantren, (Yogyakarta : PT. LKIS Printing Cemerlang, 2013), 41
                [4] Martin Van bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat,(Bandung: Ikapi, 1995), 13.
                [5] Karel A. Steenbring, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam kurun Modern, (Jakarta : PT. Pustaka LP3ES, 1986), 27.
                [6] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi pesantren, Study Pandangan hidup klyai dan visinya mengenai masa depan Indonesia,(Jakarta : LP3ES, 2011), 73.
                [7] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi pesantren, Study Pandangan hidup klyai dan visinya mengenai masa depan Indonesia,(Jakarta : LP3ES, 2011), 76.
                [8] Abdul Alim Subahar, Modernisasi Pesantren, study transformasi kepemimpinan kiai dan sistem Pendidikan Pesantren, (Yogyakarta : PT. LKIS Printing Cemerlang, 2013), 195.
                [9] Din Wahid, Nurturing The Salafi Manhaj : A Study of Salafi Pesantrens in Contemporary Indonesia, (Maandag : Utrecht University, 2014), 271
                [10] Din Wahid, Nurturing The Salafi Manhaj : A Study of Salafi Pesantrens in Contemporary Indonesia, (Maandag : Utrecht University, 2014), 272

                [11] A. Rahmat Rosyadi, Pendidikan  Islam dalam Perspektif Kebijakan pendidikan Nasional,( Bogor: PT. Penerbit IPB Press, 2014), 234-235.
                [12] Jusuf Amir Feisal, Reorientasi Pendidikan Islam, ( Jakarta: Gema Insani Press,1995), 120.
                [13] Catatan Kuliah Reformasi Pendidikan islam Prof. Dr Abudinnata tanggal 18 maret 2015.
[14] Udin saefudin Sa’ud dan Abin Syamsudin Makmun,Perencanaan Pendidikan Suatu Pendekatan Komprehensif, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 13.
                [15] Badruddin Hasyim Subky, Konsep Ulama dan Proses pendidikannya, Pendekatan Metode Tafsir Maudhu’i biddirayah (Bogor : Program Pasca sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor,  2011) 59.
                [16] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi pesantren, Study Pandangan hidup klyai dan visinya mengenai masa depan Indonesia,(Jakarta : LP3ES, 2011), 1-3.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar