M.
Azhar Alwahid
Dosen PAI – Fakultas Agama Islam
UIKA Bogor
ABSTRAK
Lahirnya kesepakatan APEC
(Asia-Pacific Economic Cooperation) dan AFTA (Asean Free Trade Area) turut
mewarnai dunia pendidikan. APEC merupakan forum utama untuk memfasilitasi pertumbuhan
ekonomi, kerja sama, perdagangan dan investasi di kawasan Asia–Pasifik yang
bertujuan mengukuhkan pertumbuhan ekonomi dan mempererat hubungan komunitas
negara-negara di Asia Pasifik. Sedangkan AFTA
merupakan wujud kesepakatan negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan
bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi di kawasan regional
ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia serta menciptakan
pasar regional bagi lima ratus juta penduduknya. Kesepakatan APEC dan AFTA
semakin kuat dengan adanya kesepakatan pembentukan WTO (Word Trade
Organization) pada tahun 1995. Kesepakatan APEC dan AFTA ternyata berimflikasi
ke dunia pendidikan termasuk pendidikan Islam, di mana lembaga pendidikan Islam di
tuntut untuk menghasilkan lulusan yang dapat menjawab tantangan jaman, sesuai
dengan kebutuhan pasar.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam
perkembangan dunia yang semakin meng-global, dunia pendidikan di hadapkan pada
situasi yang semakin sulit, di satu sisi di tuntut Melahirkan siswa yang cerdas
terampil, bermoral dan berakhlak mulia, tapi di sisi lain perkembangan
teknologi yang tidak di imbangi oleh kesadaran pemanfaatannya dengan baik,
terus mempengaruhi dan menggerogoti moral siswa, sehingga melahirkan siswa yang
memliki sifat hedonisme, dan cenderung berperangai buruk. Lahirnya internet dan
diikuti oleh Media sosial yang semakin canggih dengan fitur-fitur dan
permainannya yang menarik menjadi Soko Guru (Guru utama) bagi mereka yang
kecanduan. Demam bermain game online membuat meraka lupa belajar bahkan
cenderung tidak memperhatikan kesehatan badan dan jiwanya. Dunia yang ada di
pikiran mereka hanya dunia hayalan yang di buat oleh permainan dan imajinasai
yang di buatnya sendiri. Bahkan peran tuhan sebagai sang pencipta tidak lagi
menjadi perhatian dan keyakinan mereka. Tuhan bagi meraka hanya simbol yang di
buat oleh orang tua dan guru-guru agama mereka saja, sama persis seperti tombol
keyboard dalam komputer dan android yang mereka pegang setiap saat. Dunia nyata
bisa di buat oleh meraka seperti dunia maya dalam game yang mereka mainkan.
Ketika orang tua mereka menegur dan memarahi karena terlalu berlebihan bermain
game mereka hanya perlu memencet tombol esc atau delete. Dan bahkan kalau sudah
bosan dengan nasihat guru dan orang tua, mereka tinggal menghapus dari
kehidupan mereka sama seperti menghapus permainan dalam game online yang mereka
mainkan lalu mendown loud permainan baru yang lebih menyenangkan. Ketika kita
sebagai orang tua dan pendidikan menemukan anak yang demikian yang perlu di
lakukan hanya butuh menginstal ulang otak mereka.
Keadaan
Yang demikian tidak terlepas dari pengaruh perkembangan dunia yang semakin meng-global.
Lahirnya kesepakatan APEC (Asia-Pacific Economic
Cooperation) tahun 1989 dan AFTA (ASEAN Free Trade
Area) pada tahun 1992 turut mewarnai dunia
pendidikan kita saat ini. APEC merupakan forum utama untuk memfasilitasi
pertumbuhan ekonomi, kerjasama, perdagangan dan investasi di kawasan
Asia-Pasifik Yang bertujuan mengukuhkan pertumbuhan ekonomi dan mempererat
komunitas negara-negara di Asia Pasifik. Sedangkan AFTA merupakan wujud kesepakatan negara-negara ASEAN untuk
membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing
ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi
dunia serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta penduduknya. Kesepakat AFTA dan APEC semakin kuat dengan adanya kesepakatan
pembentukan WTO (World Trade
Organization) pada tahun
1995. Organisasi ini merupakan satu-satunya badan
internasional yang secara khusus mengatur
masalah perdagangan antar negara. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur
melalui suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan
internasional sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh
negara-negara anggota. Persetujuan tersebut merupakan kontrak antar
negara-anggota yang mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan
kebijakan perdagangannya. Walaupun ditandatangani oleh pemerintah, tujuan
utamanya adalah untuk membantu para produsen barang dan jasa, eksportir dan
importer dalam kegiatan perdagangan. Indonesia merupakan salah satu negara
pendiri WTO dan telah meratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO melalui UU NO.
7/1994.
Dalam
perkembangannya lembaga pendidikan bukan hanya menjadi gerakan moral dan sosial
tapi terus bertransformasi (menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada) menjadi
lembaga Nirlaba yang bertujuan mencari laba atau keuntungan. Kita semua
memahami bahwa untuk mendapatkan pendidikan yang berkwalitas di perlukan modal
yang cukup. Untuk melengkapi segala sarana dan prasarana yang memadai
membutuhkan biaya yang besar, untuk menggaji guru yang profesional butuh
pengeluaran yang tidak sedikit karena profesionalisme seorang guru harus
berimflikasi pada peningkatan kesejahteraan yang cukup, minimal gaji yang di
terima harus sesuai dengan standar UMR. Semua itu bermuara pada tujuan akhir
yaitu terjadinya peningkatan kualitas lulusan dari lembaga pendidikan itu
sendiri.
Pada
akhirnya masyarakat harus cerdas dalam memilih lembaga pendidikan yang sesuai
dengan kemampuan kantong mereka tapi memiliki kwalitas yang baik. Bagi mereka
yang memiliki kantong yang tebal mungkin tidak sulit memasukan anak mereka ke
sekolah-sekolah mahal bertaraf internasional seperti Sekolah Madaniah Parung,
Sekolah Al-Azhar, Madrasah Pembangunan Ciputat, International Islamic Boarding
School (IIBS) Kuningan Jakarta, Sekolah Insan Cendikia Serpong, Sekolah
Muttahari Bandung dan banyak lagi sekolah mahal yang berlabel sekolah Islam
yang di khususkan untuk kalangan menengah keatas. Sekolah- sekolah tersebut
memasang tarif luar biasa besarnya bahkan untuk biaya pendaftaran ke Sekolah
IIBS, orang tua harus merogoh kocek mereka sebesar tujuh puluh juta rupiah, dan
biaya SPP enam juta rupiah perbulan, selain itu ada biaya lain yaitu program
kerja sama dengan Sekolah dan Universitas di Amerika Serikat dan Kanada yang di
laksanakan selama dua bulan setiap tahunnya, sebesar delapan ribu dolar Amerika
Serikat. Di perkirakan dari mulai masuk sampai lulus di butuhkan dana sekitar
tiga ratus jutaan setara dengan biaya kuliah di fakultas kedokteran. Kehadiran
Sekolah-sekolah elit Islam tidak terlepas dari kehawatiran dan keresahan para
cendikiawan muslim terhadap perkembangan sekolah-sekolah elit dan bertaraf internasional
dari kalangan non muslim dan banyak di antara saudara kita yang muslim, memasukan
anaknya ke sekolah tersebut. Lahirnya sekolah elit Muslim memberikan jawaban
atas desakan untuk menghasilkan generasi yang mampu berpacu dalam keragaman
kultural dan perkembangan ilmu pengetahuan namun memiliki integritas moral yang
kuat.
Untuk
kaum muslimin kelas menengah ke bawah yang memiliki keterbatasan biaya dan
kemampuan finansial yang rendah. Perlu adanya terobosan baru dari para penggiat
pendidikan. Jangan sampai anak-anak kita kelak hanya menjadi manusia kelas dua karena
lahir dari sekolah dan perguruan tinggi kelas dua. Mereka yang bisa masuk
perguruan tinggi seperti ITB, UI, UGM, dan banyak lagi perguruan tinggi yang
memiliki predikat terbaik kebanyakan dari kalangan mampu, walaupun ada dari
kalangan tidak mampu yang bisa masuk ke sana mereka masuk melalui jalur
prestasi dan beasiswa itupun jumlahnya hanya sedikit sekali. Tugas kita sebagai
orang tua menyiapkan anak-anak kita dengan pendidikan yang baik untuk masa
depan mereka kelak di kemudian hari. Saya teringat akan ucapan Guru saya Almarhum
KH. Syafii Munandar (Pimpinan Pondok Pesantren Daarul Fudlola periode tahun
2000-2007) beliau berkata : “Seandainya saya bisa bahasa inggris mungkin saya
tidak hanya berdakwah di Malaysia, Singapura dan Dubai, tapi saya akan
berdakwah sampai ke Eropa, tapi sayang saya hanya bisa bahasa Arab jadi dakwah
saya hanya bisa di negara-negara tersebut”. Maka dari itu beliau selalu
berpesan kepada murid-muridnya agar lebih banyak lagi menuntut ilmu, bukan
hanya Ilmu Agama tapi juga ilmu umum karena tantangan dakwah ke depan lebih
berat dari sekarang. Beliau juga berpesan agar tidak terjadi dikhotomi ilmu
pengetahuan (pemisahan antara bidang ilmu agama
ilmu-ilmu umum), Semua ilmu yang ada di dunia ini adalah milik Allah
SWT. Sehingga dari sistem pendidikan ini akan melahirkan Ulama yang Intelek dan
Intelektual yang Ulama. Pada akhirnya dari lembaga pendidikan Islam ini kita bertumpu dalam mendidik
anak-anak kita karena lembaga pendidikan merupakan wadah mengkaji dan
menanamkan risalah ilahiah. Pendidikan di dirikan atas dasar pewarisan,
pengkajian, dan pengembangan risalah ilahiah itu. Pendidikan berfungsi
mewariskan pesan-pesan ilahiah dari generasi ke generasi sehingga ia tetap
eksis, lestari, atau kekal sepanjang eksisnya manusia di bumi ini.[1]
B. Reformasi Lembaga Pendidikan Islam Dalam Menghadapi AFTA 2016 dan APEC 2020
Dalam
perkembangannya Lembaga pendidikan Islam telah melewati berbagai tantangan dan
rintangan yang tidak mudah dalam menegakkan eksistensinya sebagai lembaga
penjaga moral dan akhlak bagi bangsa Indonesia ini. Di mulai dari sistem
pendidikan Surau, Masjid, lalu menjelma menjadi Pesantren dan Madrasah, lembaga
pendidikan ini terus menjadi juru kunci
bagi perkembangan sistem pendidikan di Indonesia. Surau adalah lembaga pribumi
yang menjadi pusat pengajaran Islam yang menonjol, juga menjadi titik tolak
Islamisasi Minangkabau.[2] Lahirnya
surau sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam membuat perubahan yang besar
bagi Masyarakat minangkabau walaupun pada akhirnya harus menyesuaikan dengan
perkembangan jaman dengan lahirnya sistem pendidikan pesantren yang di bawa
dari Jawa dan desakan masuknya madrasah dalam sistem pesantren. Pesantren
adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional, di mana para santri tinggal
dan belajar bersama di bawah bimbingan seorang Kiai.[3]
Asrama para santri tersebut berada di komplek pesantren , di mana sang kiai
juga bertempat tinggal di situ dengan fasilitas utama berupa mushola/langgar/
masjid sebagai tempat ibadah, ruang belajar, dan pusat kegiatan keagamaan
lainya. Tradisi keilmuan islam klasik berkembang di Asia tenggara berasal dari
dari tanah Kurdisan kawasan Hijaj, yang di bawa oleh para penunut ilmu yang
belajar di tanah suci. Sehingga pada awal abad 19 kurikulum universal pesantren
bersumber pada dominasi tradisi keilmuan Islam di tanah hijaj oleh para ulama
hijaj, yang mayoritas bermajhab syafii. Selama dua abad lamanya para ulama jawa
telah menyerap tradisi dari kawasan timur tengah itu, untuk di jadikan standar
baku bagi kawasan kepulauan nusantara. Nama-nama besar seperti syech Arsyad
banjar, Syekh Abdul Karim Banten, Syekh abd Al-shamad Palembang, syekh Saleh
Darat di Semarang, Syekh Abd Al-Muhyi Pamijahan Tasiki malaya, Syekh Mahfudz
Termas di Pacitan, Syekh khalil Bangkalan, dan syekh Hasyim asyari Tebuireng di
jombang, merupakan perwakilan utama tradisi Kurdi di Kepulauan Nusantara.[4]
Banyak kritik yang pedas terhadap
sistem pendidikan Pesantren ini namun Karel A. Steen Bring yang menulis buku
tentang Pesantren Madrasah dan Sekolah mengemukakan : “Untuk pengajaran agama
pesantren memang tidak memberikan hasil yang paling baik dalam pengajaran
formal, namun pengaruh agamis yang di hasilkan dari lingkungan yang khas,
disiplin dalam menegakan sholat dan pelaksanaan kewajiban islam lainya, justru
yang lebih penting dari pengajaran formal.[5] Dalam
tulisanya tersebut Karel A. Steen Bring ingin mengungkapkan tradisi pesantren
yang dapat merubah jiwa seorang santri yang memiliki prilaku yang baik dengan
sistem pendidikan yang di bangun oleh pesantren. Tidak semua harapan para
santri dan orang tua setelah mereka keluar dari pesantren menjadi seorang ulama
tapi mereka menginginkan kelak menjadi orang Islam yang baik. Tapi bagi mereka
yang ingin menjadi ulama harus mengikuti sebagian besar kurikulum yang ada di
pesantren tersebut, bahkan untuk menjadi seorang ulama yang memiliki ilmu
pengetahuan Agama yang tinggi perlu belajar dengan kiai atau ulama lain, di
pesantren yang berbeda. Biasanya guru yang akan mereka datangi merupakan hasil
rekomendasi dari kiai, di mana para santri belajar sebelumnya.
Tradisi
mengaji dengan kiai dari satu pesantren ke pesantren yang lain (Santri kelana)
mulai hilang dengan masuknya sistem pendidikan Madrasah ke Pesantren pada tahun
1920-an, karena para santri harus menyelesaikan jenjang pendidikan dari mulai
Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah lalu ke Madrasah Aliyah. Setelah
mendapatkan Ijazah mereka di wajibkan mengabdikan diri mengajar di pesantren tempat
mereka belajar. Setelah beberapa lama mereka mengabdi sesuai waktu yang di
sepakati, mereka bisa keluar dari pesantren untuk mengajar di pesantren lain
atau menjadi da’i (Juru Dakwah) di masyarakat. Akan tetapi bagi para santri
yang di minta untuk menjadi Ustadz (guru) di pesantern tersebut sulit bagi
mereka untuk menolaknya. Karena adanya hubungan
yang sangat dekat antara murid dengan sang guru, bahkan ada sebagian
dari mereka yang di jadikan menanti sang kyai tersebut. Menurut Zamakhsyari
Dhofier dengan masuknya sistem Madrasah ke pesantren menjadikan keuntungan
tersendiri bagi pesantren yaitu keberhasilan para kiai mengkonsolidasikan
kedudukan pesantren dalam menghadapi perkembangan sekolah-sekolah belanda.[6] Dalam
tahun 1920-an dan tahun 1930-an santri di beberapa pesantren mengalami lonjakan
jumlah santri yang sangat besar, terutama pesantren Tebuireng memiliki santri
pada saat itu berjumlah 1500 orang. Walaupun lembaga pendidikan umum tingkat
menengah banyak di dirikan oleh pemerintah belanda tapi lembaga ini di isi oleh
sebagian besar orang-orang eropa yang menetap di indonesia. Sampai akhirnya
pemerintah Hindia belanda memperluas sekolah type orang-orang eropa untuk
golongan pribumi namun jumlah lembaga dan santri lembaga pendidikan Islam lebih
banyak jumlahnya jika di bandingkan dengan sekolah-sekolah buatan pemerintahan
kolonial belanda. Sampai akhirnya dominasi pesantren mulai menurun setelah
Indonesia merdeka, setelah pemerintah mengembangkan sistem pendidikan umum dan
jabatan-jabatan administrasi modern terbuka luas bagi bangsa indonesia yang
terdidik dalam sekolah umum.
Walaupun
jumlah sekolah umum yang di dirikan oleh pemerintah Indonesia semakin bertambah
namun tidak menyurutkan niat pemuda-pemuda Islam Indonesia untuk mengenyam
pendidikannya di Pesantren. Hal ini
terjadi karena para kiai begitu cerdas membaca keadaan dengan menyelenggarakan
sekolah-sekolah umum dalam pesantren. Akhirnya jumlah pesantrenpun semakin
bertambah. Pada tahun 1942 jumlah pesantren di Indonesia hanya 2300 dan pada
tahun 1998 bertambah menjadi 7600 pesantren. Menurut Zamakhsyari Dhofier
lembaga pesantren pada tiga dasawarsa tersebut dapat di kelompokan menjadi dua
type besar yaitu : 1). Tipe lama (klasik) yang inti pendidikanya mengajarkan
kitab-kitab Isdlam Klasik.walaupun sistem Madrasah di terapkan, tujuanya untuk
memudahkan sistem sorogan yang di pakai dalam lembaga-lembaga pengajian bentuk
lama. Tipe ini tidak mengenalkan pengajaran pengetahuan umum. Masih cukup besar
pesantren yang mengikuti pola ini, yaitu, pesantren Lirboyo dan Ploso di Kediri,
Pesantren Maslahul Huda di Pati, dan pesantren Tremas di Pacitan. 2). Tipe
baru, yaitu mendirikan sekolah-sekolah umum dan madrasah-madrasah yang
mayoritas mata pelajaran yang di kembangkanya bukan kitab-kitab Islam klasik.
Pesantren-pesantren besar seperti Tebuireng dan Rejoso di Jombang telah membuka
SMP, SMA dan Universitas; meskipun di pertahankan, porsi pengajaran kitab-kitab
Islam klasik tidak memadai, mungkin di sebabkan jumlah pengajar kitab-kitab
Islam Klasik tidak mencukupi di bandingkan dengan kebutuhan. Apalagi
pertumbuhan jumlah lembaga pesantren mencapai tiga kali lipat antara tahun 1998
dan 2010.[7] Banyak lembaga Pesantren yang bertahan sampai
saat ini namun banyak pula yang hanya tinggal nama saja. Hal itu terjadi karena
tidak berjalannya proses kepemimpinan di pesantren tersebut setelah
meninggalnya sang kia dan tidak ada anak atau cucunya yang memiliki kharisma
seperti pemimpin sebelumnya. Oleh sebab itu perlu adanya proses transformasi
kepemimpinan. Dalam proses transformasi kepemimpinan aspek kompetensi harus
selalu menjadi syarat utamanya. Kompetensi seorang pemimpin di pesantren meliputi kharisma, kwalitas
keilmuan, kepribadian, kemampuan manajerial, dan keikhlasan untuk menerima
amanah.[8]
Lahirnya
lembaga-lembaga Pesantren yang di dirikan oleh kalangan Salafi puritan menjadi
tren yang menarik untuk di kaji, walaupun jumlah mereka tidak terlalu banyak
hanya sekitar 50 pesantren di seluruh indonesia. Munculnya lembaga-lembaga
pendidikan ini menjadi tantangan tersendiri bagi kaum Santri dan para kiai dari
Pesantren Salafiah yang berafiliasi dengan Nahdatul Ulama. Karena ajaran yang
di bawa oleh kaum salafi puritan ini sangat berbeda dengan semangat keagaman
yang di ajarkan di pesantren-pesantren salafiah yang menamakan dirinya
Ahlussunah waljamaah. Isu bid’ah dan khurafat menjadi senjata mereka dalam
melakukan proses mentakfiran kaum tradisional NU ini. Pesantren salafi memberikan
perhatian khusus terhadap doktrin salafisme, sebagian besar ajaran Muhammad Ibn
Abd al-Wahhab.[9]
Doktrin-doktrin ini dapat ditelusuri kembali ke periode sebelumnya, pada ajaran
Ibn Taimiyah dan Ahmad bin Hambal. Pada periode kontemporer, abdul Aziz bin
abdullah baz dan Muhammad Nasir al-Din al-Albani adalah salah satu pendiri salafi
yang paling berpengaruh. Kitab-kitab Salafi, seperti kitab Al-tauhid dan Al-ushul
al-Thalatha oleh Ibn Abd al-Wahhab dan al-aqidah al-wastiyya oleh Ibn Taimiyah
adalah salah satu buku teks utama yang digunakan dalam pesantren salafi. Semua
karya-karya ini sangat berbeda dari yang dipelajari di pesantren salaf
(tradisional) seperti yang dijelaskan oleh Martin Van Brouinessen. Pesantren
salafi tidak sama dengan pesantren salafiah yang berhubungan dengan NU.
Walaupun
semua salafi menyepakati prinsip-prinsip dasar dari manhaj salafi, mereka jauh
dari monolitik. Ada tiga kecenderungan utama dalam gerakan salafi yaitu "Furist,"
Haraki ", dan" Jihadi“.[10]
Perbedaan utama di antara mereka menyangkut sikap mereka terhadap penguasa atau
pemerintah. Masalah utama mengenai hal ini adalah untuk apa Muslim mematuhi
pemerintah dan sejauh mana mereka harus mematuhinya. Kelompok Furist mendesak
Muslim untuk menyerah kepada penguasa tanpa syarat artinya mereka mengikuti
saja apa yang di putuskan oleh pemerintah termasuk idiologi, sedangkan
"haraki" berpendapat bahwa kesetiaan dan loyalitas kepada pemerintah
bukan tanpa kondisi. Bagi mereka, loyalitas kepada pemerintah adalah tergantung
pada penyerahan hukum Tuhan. Ketika pemerintah gagal menerapkan syariah, Seorang
Muslim tidak diwajibkan untuk mematuhi. Ini berarti bahwa "haraki"
salafi meninggalkan ruang untuk ketidaktaatan pada pemerintah, bagaimanapun
seorang Muslim hanya dapat menunjukkan ketidaksetiaan ini melalui cara-cara
damai seperti kritik verbal dan mengorganisir demonstrasi di jalan-jalan.
Sementara itu, "jihad" faksi lebih jauh lagi dengan melegitimasi
tindakanya dari tindakan kekerasan terhadap penguasa dan akhirnya menggulingkan
penguasa. Perbedaan antara "haraki" dan "jihad" adalah
sedikit, dan oleh karena itu, salafi "haraki" mungkin mudah bergerak
dan berubah menjadi salafi "jihad"
Mayoritas
salafi indonesia jatuh ke dalam gerakan pemikiran yang pertama yaitu kategori
"Furist", dalam kategori ini, Din wahid membagi mereka menjadi "penolak",
cooperationist "dan" tanzimi. Purist (penolak) eksklusif karena
mereka menolak semua kerja sama dengan hizby (partisan, yang berbentuk divisi)
orang dan organisasi. Dalam bidang pendidikan, mereka menolak kurikulum Nasional.
Mantan aktivis Laskar jihad itu jatuh; dalam kategori ini.
"Cooperationist" puritan yang lebih inklusif dalam kolaborasi mereka
dengan kelompok-kelompok Muslim lainnya dan pemerintah. Abu Nida dan
kelompoknya yang menerima hibah dari jami'iyyat Ihya 'al-Turats dapat
diklasifikasikan antara faksi ini. The "tanzimi" adalah kelompok
salafi yang mengadopsi format organisasi, seperti Wahdah Islamiyah di Makassar.
Selain Furist, ada sejumlah kecil salafi yang dapat diidentifikasi sebagai
"haraki" atau "jihad". Pesantren Ngruki dikategorikan
sebagai "haraki", sedangkan pembom bali jatuh ke dalam katagori
"jihad". Ngruki, misalnya, sering mengkritisi pemerintah karena
menolak untuk menerapkan syariah.
Pesantren salafi
menawarkan berbagai program pendidikan dari TK sampai tingkat perguruan tinggi,
dan mereka telah mengembangkan kurikulum mereka sendiri. Muncul beberapa
perbedaan di antara mereka. Pesantren terkait dengan "Furist" salafi
menawarkan program, terutama Tahfiz, dan tadrib al-Du'at. Mereka telah
mengadopsi kurikulum mereka dari Yaman dan hanya mengajarkan pelajaran agama.
Dengan program ini mereka ingin
menduplikasi darul hadits, pusat pembelajaran salafi yang didirikan oleh Sheikh
Muqbil di Damaj, Yaman, di mana banyak salafi "Furist" yang telah
lulus. Satu-satunya mata pelajaran sekuler pesantren ini mengajarkan kepada
siswa mereka adalah bahasa indonesia dan matematik. Mata pelajaran ini
diperlukan karena mereka tinggal di Indonesia dan bahasa indonesia merupakan
alat untuk komunikasi sehari-hari. Sementara matematika penting dalam melakukan
bisnis. Untuk mengembangkan kegiatan sosial kemasyarakatan salafi menawarkan
berbagai program pendidikan di antaranya ; TK, SD, Tsanawiyah, Aliyah, dan
Ma'had Alyi. Pesantren ini, seperti Al-furqan dan Assunah, menunjukkan
kecenderungan yang lebih inklusif dari "Furist" rekan-rekan salafi
mereka. Mereka telah mengadopsi kurikulum nasional untuk mata pelajaran agama.
Mereka mengajarkan semua mata pelajaran sekuler yang digariskan oleh pemerintah
dan membiarkan siswa mereka berpartisipasi dalam program pemerintah sehingga
mereka melanjutkan studinya ke tingkat yang lebih tinggi di sekolah umum.
Metodologi
yang digunakan dalam salafisme mengajar bervariasi sesuai dengan usia siswa.
Anak-anak di tingkat TK dan SD, misalnya, mengajarkan dasar-dasar salafisme
dengan cara yang sederhana, seperti
menghafal doa-doa berdasarkan hadits yang diterima dan tidak mengajarkan mereka
untuk menyanyikan lagu-lagu atau menggambar makhluk hidup seperti hewan dan
orang. Sedangkan, siswa di tingkat yang lebih tinggi belajar salafisme dengan
mempelajari buku-buku tek pelajaran dan mereka harus menghafal pelajaran,
terutama dalils (Argumen agama). Lebih penting lagi, pesantren salafi tidak
hanya mengajar siswa mereka tentang salafisme tetapi juga merangsang mereka
untuk berlatih manhaj salafi dalam kehidupan sehari-hari seperti dengan memakai
jalabiya (Celana panjang yang tidak melebihi lutut kaki), olahraga, menggunakan
jenggot panjang, menghindari isbal, dan makan makanan bersama-sama satu nampan
besar. Semua praktik ini bertujuan membiasakan mereka dengan manhaj sehingga
mereka menjadi salafi sejati (Salafi kaffa).
Masyarakat Muslim
telah merespon dalam berbagai cara dengan munculnya pesantren salafi di daerah
mereka. Muslim tradisionalis dari NU menjelma menjadi oposisi yang kuat terhadap
salafisme. Tindakan yang mereka lakukan berkisar dari serangan verbal sampai ke
tindakan kekerasan. Alasan utama pertentangan mereka di picu oleh sikap kaum
salafi 'terhadap muslim lainnya. Kritik salafi dari keyakinan agama dan
masyarakat setempat telah menimbulkan kemarahan masyarakat, terutama para
pemimpin agama. Untuk para pemimpin ini, salafi mempertanyakan argumen dalil
terhadap praktek ibadah kaum NU. Seperti tahlilan, bagi orang yang meninggal
dunia, talkin bagi mayit, Maulid Nabi dan beberapa praktek ibadah yang di
anggap bid’ah oleh mereka. Dalam masa Reformasi ini seluruh masyarakat di
berikan kebebasan yang luas untuk memilih keyakinan mereka termasuk memilih
paham agama yang mereka yakini. Namun perbedaan yang ada jangan di jadikan
sumber perpecahan di kalangan umat Islam. Selama mereka masih mengakui Alquran
sebagai kitab suci, dan Nabi Muhamad SAW sebagai Nabi dan Rasul, masih
menjalankan Rukun Islam, percaya pada Rukun Iman. Mereka semua adalah saudara
kita. Adapun perbedaan cara beribadah dalam masalah Fiqhiah jangan di perbesar.
Kita saling menghormati dan menghargai serta tidak menyalahkan cara beribadah
saudara kita yang bermajhab beda. Kalau prinsif ini di jalankan niscaya
kerukunan di antara kaum muslimin akan terjalin erat dan Rahmat Allah SWT akan
turun.
Pada
masa pemerintahan Hindia belanda dan jepang Lembaga pendidikan Islam tidak
mendapatkan tempat dan tidak di akui sebagai sebuah sistem pendidikan di negeri
ini karena alasan politik. Kemudian setelah Indonesia merdeka lahirlah Undang-Undang
sistem pendidikan N0. 4 tahun 1950 dalam UU Sisdiknas ini juga belum mengakui
lembaga pendidikan Islam sebagai sebuah sistem pendidikan yang turut
mencerdaskan anak bangsa. Yang di akui oleh pemerintah hanya Sekolah umum
setingkat, SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi Umum. Sedangkan Madrasah (Lembaga
Pendidikan yang di selenggarakan oleh masyarakat) yang menyelenggarakan Raudhatul
Athfal (RA), Madrasah Ibtidaiyah(MI), Madrasah Tsanawiyah (MTS), Madrasah
Aliyah (MA), dan Perguruan Tinggi Agama Belum diakui oleh pemerintah. Demikian
juga beberapa lembaga pendidikan yang lahir dari masyarakat seperti :
Pendidikan Keagamaan, Pengajian Alqur’an di surau dan masjid, Dinia Ula, Dinia
wusto dan Ma’had Ali belum mendapat tempat dalam sistem pendidikan nasional.
Kemudian lahirlah Undang-Undang Sisdiknas No.2 tahun 1989 yang mengakui
Madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan Nasional akan tetapi Pendidikan
yang di selenggarakan oleh masyarakat seperti: Pendidikan Keagamaan, Pengajian
Alqur’an di surau dan masjid, Dinia Ula, Dinia wusto dan Ma’had Ali, belum di
akui sbagai bagian dari sisitem pendidikan Nasional. Berkat kerja keras para
ulama dan tokoh masyarakat lewat lembaga MPR dan DPR maka lahirlah lahirnya
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 2003 dan secara resmi
Pemerintah telah mengakui semua lembaga pendidikan Islam baik yang di
selenggarakan oleh Yayasan Pendidikan Islam, Lembaga pesantren dan Masyarakat
termasuk Pendidikan Keagamaan, Pengajian Alqur’an di surau dan masjid, Dinia Ula,
Dinia wusto dan Ma’had Ali.
Dengan
di akuinya lembaga pendidikan Islam
sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional membuka peluang bagi lulusan
lembaga pendidikan Islam serperti Madrasah dan Pesantren untuk berkiprah dalam
berbagai macam profesi termasuk menjadi tokoh politik, pegawai pemerintahan,
akademisi dan teknokrat. Dengan kebijakan ini tidak hanya meninggalkan kesan
yang positip akan tetapi menimbulkan masalah baru. Dengan berkurangnya
kurikulum keagamaan di Madrasah-Madrasah yang sebelumnya 70 % bermuatan Agama
dan 30% bermuatan Umum menjadi terbalik 70 % bermuatan Umum dan 30% bermuatan
Agama, membuat madrasah tidak lagi menjadi lembaga pencetak Ulama sehingga
sedikit sekali lahir para ulama seperti Buya Hamka, KH. Hasyim Ashari KH Ahmad
Dahlan dan tokoh-tokoh Ulama yang lain yang memiliki Ilmu Pengetahuan Islam
yang luas. Setelah lahirnya Undang-Undang Sisdiknas No. 2 Tahun 2003 membuka
peluang bagi lembaga pendidikan Islam menyelenggarakan Pendidikan Agama
seluas-luasnya tetapi tidak keluar dari sistem tersebut. Dalam Undang-udang ini
kelembagaan pendidikan agama di sebutkan langsung secara eksplisit tentang
jenis, jalur dan jenjang pendidikanya. Jenis pendidikan mencakup pendidikan
umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagaman, dan khusus. Pendidikan
dasar berbentuk Sekolah dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk
lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama(SMP) dan Madrasah Tsanawiyah
(MTS) dan bentuk lain yang sederajat. Pendidikan Menengah berbentuk Sekolah
Menengah Atas(SMA) dan Madrasah Aliyah (MA) Sekolah Menengah Kejuruan (SMK),
dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan
pada Usia Dini pada jalur pendidikan
Formal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA) dan bentuk
lain yang sederajat. Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan di
kembangkan dengan prinsif diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan,
potensi daerah, dan peserta didik.[11]
Kalau
kita cermati dalam Undang-Undang Sisdiknas tersebut memberikan peluang kepada
Lembaga Pendidikan Islam termasuk Pesantren untuk membuat Kurikulum Khas
pesantren yang di kembangkan sendiri sesuai dengan kebutuhan umat Islam saat
ini yaitu mencetak Ulama yang Intelek dan Intelektual yang Ulama. Prof Dr.
Jusuf Amir Feisal berpendapat dengan berbagai kebijakan pendidikan yang ada
sekarang pada suatu saat lembaga pendidikan ini akan berubah menjadi lembaga
pendidikan yang berorientasi pada ketenagakerjaan yang hanya menghasilkan
buruh, tidak lagi menyiapkan wiraswasta yang mandiri atau ulama yang menjadi
reformer dan pewaris para nabi untuk memelihara dan mengembangkan agama. Oleh
karena itu harus ada Usaha penyelamatan lembaga pendidikan Islam, sementara
usaha “pengakuan” akan adanya kebutuhan akan kepuasan lahir material
mendapatkan tempat yang proporsional dalam sistem pendidikan Islam. Lembaga
pedidikan Islam di tata kembali sehingga program pendidikanya berorientasi pasa
pencapaian dan penguasaan kompetensi tertentu baik yang berhenti maupun yang
tersambung.[12]
Menurut Prof Dr. Abudinata ada sembilan arah
pembaharuan pendidikan di era kontemporer ini. Pertama, dari segi
pengelolaan lembaga pendidikan memadukan kinerja kerja profesional dengan
bisnis Nirlaba. Kedua, Lembaga
pendidikan harus mengembangkan model pembelajaran kolaboratif dan inovatif dengan
student centris dan dan teacher centris. Ketiga,
Lembaga pendidikan harus membangun kerja sama untuk branch marking. Keempat, Penguatan pendidikan agama
yang transformatif dan dapat menjawab tuntutan masyarakat (social Expectation),
kelima penguatan dalam bidang hight
technologi pada segi pelayanan administrasi pengajaran dan lainya. Keenam, peningkatan SDM (Sumber Daya
Manusia) melalui ISO, dan TQM (Total Quality Management) ada enam langkah yang
harus di penuhi dalam TQM yaitu : Visi memuaskan pelanggan, Perbaikan terus
menerus, Di dukung oleh tim yang kompak, Kepemimpinan yang efektif, Budaya yang
di laksanakan kemudian menjadi culture, reword dan funisment. Ketujuh Mengembangkan manajemen yang
memuaskan pelanggan dan berbasis perilaku. Kedelapan
Pemerataan pendidikan yang berkwalitas. Kesembilan Menerapkan model pembaharuan yang memelihara tradisi
lama. Kesepuluh dalam membentuk tim
pengkaji dan pengembang (Research and development), harus di isi oleh
orang-orang yang handal, kompak, memiliki komitmen yang tinggi, pekerja keras,
memiliki visi yang unggul, dedikatif dan amanah.[13] Selain itu perlu adanya
perencanan pendidikan yang matang sehingga ketika membangun lembaga pendidikan
Islam semua komponen yang ada dapat di berdayakan semaksimal mungkin. Namun
demikian perencanaan pendidikan memerlukan waktu yang cukup lama karena dalam pelaksanaannya tidak dapat di ukur dan di
nilai secara tepat. Khususnya dalam bidang pendidikan yang bersifat
kualitataif, apalagi dari sudut pendidikan nasional.[14]
Karakteristik perencanan pendidikan tersebut di tentukan oleh konsep dan
pemahaman tentang pendidikan.
Dr.
KH Badrudin Hsubki Pendiri Pesantren Al-Badar Kota Bogor dan juga dosen di
Universitas Ibn Khaldun Bogor, telah mengembara dan belajar ke puluhan
Pesantren di Indonesia. Di dalam Disertasinya tentang Konsep Ulama dan Proses
Pendidikannya, beliau berpendapat harus ada sebuah lembaga pendidikan Islam
yang dapat melahirkan para ulama yang tidak hanya mengajarkan Ilmu-ilmu
Keagamaan (Tafaquh Fiddin) seperti tafsir ilmu tafsir, Asbabunujul, Asbabul
wurud, Nahwu, Sharaf, Akhlak tasawuf, Ilmu kalam, Ilmu marifat, Ilmu suluk, Fiqh,
Ushul Fiqh, Qaidah fiqih, Tauhid, Akhlak Tarik dan lainya tapi juga harus di
berikan ilmu yang lain seperti Manajemen, Ilmu politik, Psikologi, Ilmu
pendidikan, Ilmu Politik dan sebagainya.[15] Menurut
beliau tantangan ke depan bagi dunia dakwah semakin berat, karena seorang ulama
memiliki beberapa fungsi dalam masyarakat, ulama adalah seorang pendidik,
pengajar, pembimbing, dan pengayom, sekaligus sebagai figur sentral di tengah-tengah
masyarakat yang majemuk. Selain bertugas mendidik, membimbing ketauhidan, dan
menuntun ke jalan ibadah dan memperbaiki akhlak, ulama juga dapat mempersempit
gerak, langkah dan usaha pemurtadan kaum kafir terhadap umat islam. Sebagaimana
di kemukakan oleh Aly Al-Kurni ketika mengutip hadis Nabi Muhamad SAW yang
artinya “ kelak bakal terjadi suatu bencana (yang menakutkan ), pada pagi hari
seorang muslim beriman, namun sore harinya ia menjadi kafir, kecuali (yang akan
di jaga dari bencana) adalah orang–orang (Ulama) yang di hidupkan oleh Allah
dengan (mengamalkan) ilmunya. (HR. Imam Addaelimi). Di dalam lembaga pencetak
para Ulama tersebut, Dr KH. Badrudin Hsubki mengasumsikan, jika seorang anak
masuk pada usia 15 tahun dia baru tamat dan menjadi seorang Ulama dengan gelar
syech setingkat Doktor (S3) pada usia 26 tahun, dan jika masuk ke lembaga
tersebut pada usia 18 tahun tamat dari SMU dia baru tamat dan menjadi seorang
ulama dengan gelar syech setingkat doktor pada usia 29 tahun. Sesuai dengan UU
Sisdiknas No.2 tahun 2003 pasal 8 ayat 1, di harapkan dari lembaga pendidikan
Islam ini akan lahir siswa yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran
agamanya dan menjadi ahli ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, inovatif,
dan dinamis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang beriman, bertakwa
dan berakhlak mulia.
C.
KESIMPULAN
Dalam
menghadapi Perdagangan bebas sesuai dengan kesepakatan AFTA dan APEC, lembaga
pendidikan Islam harus mereformasi bentuknya termasuk kurikulum di dalamnya.
Dengan cara mengawal pemerintah melahirkan kebijakan-kebijakan pendidikan yang
tidak mendiskriminasikan umat Islam termasuk di dalamnya lembaga pendidikan
Islam, sehingga Pembaharuan Sistem pendidikan Nasional selalu dilandasi oleh
Sistem pendidikan Islam. Selain itu berbagai macam tradisi keilmuan yang
merupakan warisan pera ulama terdahulu seperti Madrasah dan Pesantren harus di
pertahankan terutama dalam Tradisi
Keilmuan dan praktek keagamaan seperti santri salaf dan santri kelana. Akan
tetapi tradisi keilmuan tersebut harus bertransformasi (menyesuiakan diri )
dengan keadaan jaman yang semakin meng-global ini. Untuk melestarikan Pesantren
perlu adanya transformasi kepemipinan kiai. Dalam proses transformasi kepemimpinan aspek
kompetensi harus selalu menjadi syarat utamanya. Kompetensi seorang
pemimpin di pesantren meliputi kharisma,
kwalitas keilmuan, kepribadian, kemampuan manajerial, dan keikhlasan untuk menerima
amanah.
Berbagai
macam bentuk lembaga pendidikan Islam muncul sebagai jawaban atas tantangan dan
kebutuhan umat Islam dalam menghadapi berbagai persoalan dalam masyarakat.
Berawal dari Surau, Masjid lalu menjelma menjadi Pesantren dan Madrasah.
Lembaga pendidikan Islam terus meningkatkan kwalitasnya dengan melengkapi
berbagai macam sarana dan prasarana sehingga Pesantren dan sekolah Islam
menjadi lembaga yang di minati oleh masyarakat terutama kaum elit muslim.
Dahulu pesantren dan madrasah di pandang sebelah mata oleh sebagian masyarakat
tapi belakangan ini dengan lahirnya Madrasah Pembangunan dan Madrasah Plus
menjadi daya tarik tersendiri di kalangan kaum muslimin. Mereka berebut
memasukan anak mereka ke lembaga pendidikan tersebut walaupun dengan biaya yang
mahal. Banyaknya kaum Urban di perkotaan melahirkan kaum elit baru termasuk
kaum elit muslim, mereka yang berpenghasilan lebih menginginkan pendidikan yang
terbaik buat anak mereka. Berawal dari keprihatinan kaum cendekiawan muslim
dengan banyaknya kaum muslimin yang memasukan anaknya ke sekolah elit Katolik
membuat mereka berpikir mendirikan Lembaga Pendidikan Islam yang berkwalitas.
Dari
pemikiran tersebut maka lahirlah sekolah Islam seperti Al-Azhar, Madaniah
School, dan Sekolah Islam Terpadu. Berdirinya lembaga pendidikan bagi kaum elit
muslim menimbulkan masalah baru dalam masyarakat, mereka yang tidak mampu
menyekolahkan anak mereka ke sekolah tersebut hanya bisa memadukan anak-anak
mereka ke sekolah dan Madrasah Islam yang memiliki keterbatasan fasilitas dan
Sumber Daya manusia, karena sebagian sekolah tersebut murni di biayai oleh
masyarakat. Walaupun sekolah mendapatkan Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
namun tidak mencukupi untuk biaya operasional sekolah yang begitu besar. Pada
kenyataannya di masyarakat orang miskin hanya dapat menyekolahkan anak-anak
mereka ke sekolah untuk siswa miskin. Sehingga Universitas-Universitas Negeri
dan Swasta yang berkwalitas di penuhi oleh mereka yang berasal dari kalangan
mampu walaupun ada diantara mereka yang berasal dari kalangan tidak mampu tapi
jumlahnya hanya sedikit. Dengan demikian perlu adanya terobosan baru dari para
penentu kebijakan dan pakar pendidikan untuk memberikan kesempatan
seluas-luasnya bagi kaum tidak mampu menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah
yang berkwalitas. Mereka tidak perlu sekolah ke Al-Azhar atau Madaniah school
dan sekolah-sekolah elit muslim lainya. Akan tetapi sekolah-sekolah elit
tersebut dapat memberikan kontribusi kepada sekolah-sekolah Islam di sekitar
mereka dengan memberikan bantuan fasilitas dan pelatihan guru. Jika kerja sama
ini di jalankan niscaya kesenjangan antara siswa di sekolah elit muslim dengan
siswa yang bersekolah di sekolah/madrasah sekitar tidak akan terjadi.
Lahirnya
lembaga pendidikan pesantren dan sekolah dari kaum salafi puritan turut
memberikan kontribusi pendidikan islam di Indonesia. Perbedaan pandangan dengan
masyarakat muslim lain di indonesia dan kecenderungan kaum salafi menyalahkan
praktek ibadah kaum Nu membuat kemarahan sebagian masyarakat terhadap mereka.
Sehingga sempat terjadi kekerasan seperti yang terjadi di lombok dan daerah
lainya. Menyikapi hal tersebut perlu adanya pamahaman akan pentingnya persatuan
dan kesatuan di kalangan kaum muslimin. Sebagaimana yang di contohkan oleh
Muhamadiah dan Persis, pada awalnya keberadaan mereka tidak di akui oleh
masyarakat indonesia yang sebagian besar berafiliasi dengan Nahdatul Ulama (NU)
yang bermajhab Ahlussunah walajamah yang memakai Fiqh empat Imam majhab yaitu :
Syafii, Maliki, Hanafi dan Hambali dalam bidang Tauhid menganut ajaran Imam Abu
Hasan Al-asyari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi dan dalam bidang tasawuf
menganut ajaran Imam Abu Qosim Al-Junaid. Pada akhirnya mereka sadar untuk di
akui keberadaannya perlu memiliki sikap yang toleran terhadap masyarakat Nu
yang sudah menganut Majhab Ahlussunah wal jamaah di Indonesia selama lebih dari
800 tahun.[16]
Apa yang telah di lakukan oleh Muhamadiah dan Persis sebaiknya di ikuti oleh
kaum Salafi Puritan karena jika hal tersebut dapat dilakukan alangkah indahnya dunia ini karena persatuan
dan kesatuan di kalangan kaum muslimin dapat terwujud dan kedamaian akan di
rasakan oleh semua umat manusia. Sejarah telah membuktikan di mana kaum
muslimin mayoritas kaum minoritas akan sangat terlindungi hak-hak hidup mereka.
Tapi sebaliknya jika kaum muslimin minoritas, mereka akan mendapatkan perlakuan
yang tidak adil.
Selain
beberapa hal di atas dalam melakukan reformasi Lembaga Pendidikian Islam perlu
adanya perencanan pendidikan yang matang sehingga ketika membangun lembaga
pendidikan Islam semua komponen yang ada dapat di berdayakan semaksimal mungkin.
Namun demikian perencanaan pendidikan memerlukan waktu yang cukup lama karena
dalam pelaksanaannya tidak dapat di ukur
dan di nilai secara tepat khususnya dalam bidang pendidikan yang bersifat kualitatif,
apalagi dari sudut pendidikan nasional. Buah Kesabaran dari penggiat pendidikan
ini pada suatu saat nanti akan berbuah manis. Dan pembaharuan yang mereka
lakukan akan dapat di rasakan manfaatnya oleh generasi selanjutnya karena di
tangan mereka kelanjutan tradisi keilmuan dan keislaman ini akan di wariskan
kepada generasi mereka selanjutnya dan demikian seterusnya.
DAFTAR PUSTAKA
Kadar, M. Yusuf,
Tafsir Tarbawi, Pesan-Pesan Al-qur’an Tentang Pendidikan, (Jakarta :
Amzah, 2013)
Azra, Azyumardi,
Surau, Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi, (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 2003)
Subahar, Abdul Alim,
Modernisasi Pesantren, study transformasi kepemimpinan kiai dan sistem
Pendidikan Pesantren, (Yogyakarta : PT. LKIS Printing Cemerlang, 2013)
Van bruinessen, Martin , Kitab
Kuning Pesantren dan Tarekat,(Bandung:
Ikapi, 1995)
A.Steenbring, Karel, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan
Islam dalam kurun Modern, (Jakarta : PT. Pustaka LP3ES, 1986)
Dhofier,
Zamakhsyari,Tradisi pesantren, Study Pandangan hidup klyai dan visinya mengenai
masa depan Indonesia,(Jakarta : LP3ES, 2011)
Wahid, Din, Nurturing
The Salafi Manhaj : A Study of Salafi Pesantrens in Contemporary Indonesia,
(Maandag : Utrecht University, 2014)
Rosyadi, A. Rahmat,
Pendidikan Islam dalam Perspektif
Kebijakan pendidikan Nasional,( Bogor: PT. Penerbit IPB Press, 2014
Amir
Feisal, Jusuf, Reorientasi Pendidikan Islam, ( Jakarta: Gema Insani Press,1995)
Abudinnata, Catatan
Kuliah Reformasi Pendidikan islam (Jakarta : UIN Syrif Hidayatullah tanggal 18
maret 2015)
Hasyim Subky,
Badruddin, Konsep Ulama dan Proses pendidikannya, Pendekatan Metode Tafsir
Maudhu’i biddirayah (Bogor : Program Pasca sarjana Universitas Ibn Khaldun
Bogor, 2011)
Saefudin Sa’ud, Udin dan Syamsudin
Makmun, Abin , Perencanaan Pendidikan Suatu Pendekatan Komprehensif, (Bandung :
PT. Remaja Rosdakarya, 2005)
[10] Din Wahid, Nurturing The
Salafi Manhaj : A Study of Salafi Pesantrens in Contemporary Indonesia,
(Maandag : Utrecht University, 2014), 272
[14] Udin saefudin Sa’ud dan
Abin Syamsudin Makmun,Perencanaan Pendidikan Suatu Pendekatan Komprehensif,
(Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 13.