Rabu, 27 April 2011

MENINGKATKAN PROFESIONALISME GURU MELALUI PERTISIPASI DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN, KEPEMIMPINAN, DAN MOTIVASI KERJA


1. Pendahuluan
            Akhir-akhir ini kita menyaksikan banyak lembaga pendidikan yang gulung tikar karena tidak mendapatkan siswa. Hal ini diawali dari ketidak-harmonisan hubungan antara pimpinan dengan guru dan karyawan, dan juga terjadinya diskomunikasi antar komponen pendidikan. Ditambah lagi dengan tidak adanya upaya untuk segera menyelesaikan permasalahan tersebut, sehingga permasalahan intern sekolah terus berlanjut. Kesejahteraan guru tidak lagi menjadi prioritas akibatnya kinerja guru semakin buruk dan pada akhirnya berimbas pada siswa. Semakin hari keadaan semakin kacau, siswa sudah tidak diperhatikan lagi, guru banyak yang malas mengajar sehingga sekolah berubah nama menjadi sekolah 89 (masuk jam delapan pulang jam sembilan). Kepercayaan masyarakat terhadap sekolah semakin berkurang dan pada tahun-tahun berikutnya tidak ada lagi orang tua yang mau memasukan anaknya kesekolah tersebut.
            Tampak jelas di depan mata, kita sering menyaksikan lembaga pendidikan yang begitu mentereng dan mewah. Pengelolanya bergaya gedongan, rumahnya mewah bagai istana, kendaraannya berjejer sampai kehalaman, hampir semua merek mobil terpampang dirumahnya. Tapi setelah kita menengok ke dalam sekolah yang dikelolanya dan bertanya pada guru yang ada disana, ternyata banyak diantara mereka yang kondisinya sangat memprihatinkan, jangankan untuk membeli rumah dan kendaraan, untuk bayar kontrakan saja mereka sering menunggak. Masih banyak pengelola lembaga pendidikan yang hanya memikirkan kepentingan pribadinya dan keluarganya saja, mereka menganggap bahwa lembaga pendidikan yang mereka kelola merupakan sumber penghasilan bagi keluarga mereka. Bahkan ketika para sesepuh dan pendiri lembaga tersebut meninggal dunia, lembaga pendidikan tersebut menjadi rebutan. Padahal lembaga pendidikan yang mereka kelola berada diatas tanah wakap yang jelas-jelas adalah milik umat. Beberapa contoh kasus belum lama ini tejadi, di Universitas Islam Sumatra Utara (UISU) sebuah Universitas tertua dikota itu yang menjadi kebanggaan umat Islam, tarjadi bentrokan dua kubu Pengelola dan Mahasiswa yang Pro Hajah Suryani dan yang Pro Helmi Nasution. Hajah Suryani adalah salah satu istri dari Pendiri Lembaga tersebut sedangkan Helmi Nasution adalah salah satu anak dari pendiri. Keduanya mengaku sebagai salah satu yang berhak mengelola lembaga tersebut dan memiliki semua asset yang ada didalamnya. Harta lah yang membutakan hati mereka karena jumlah Mahasiswa yang mencapai 8000 Mahasiswa dengan biaya kuliah yang mahal sehingga menghasilkan omset milyaran rupiah setiap tahunya. Ada lagi kasus perebutan kampus Trisakti antara pendiri dan pengelola, Thoby Mutis sebagai pengelola merasa turut membangun kampus tersebut sehingga besar seperti sekarang, sedangkan pendiri merasa kampus tersebut adalah buah karyanya sehingga mereka berhak memiliki semua asetnya. Sampai sekarang perebutan asset kampus tersebut belum selesai. Dan masih banyak lagi kasus yang lain yang pada akhirnya harus mengorbankan Guru terlebih lagi siswa. Ketika lembaga tersebut masih kecil dan keadaannya memprihatinkan mereka saling meyodorkan tanggung jawab, akan tetapi ketika lembaga tersebut berkembang dan menghasilkan banyak uang mereka memperebutkanya. Sengguh harta telah membutakan hati mereka.   
            Ketika mereka mendapat amanah untuk memimpin, mereka memimpin secara sewenang-wenang. Uang BKG (bantuan kesejahteraan Guru) yang seharusnya menjadi hak guru sepenuhnya, mereka sunat dengan alasan tertentu yang tidak logis. Guru yang vocal dan kritis mereka tendang begitu saja tanpa diberi pesangon sedikitpun, padahal guru tersebut telah berjuang disekolah tersebut sejak awal pendirian. Pada awal pendirian setiap guru dituntut untuk bersama-sama memperjuangkan kemajuan sekolah, dengan iming-iming kesejahteraan yang lebih baik, akan tetapi setelah sekolah maju dan mendatangkan banyak income, meraka ditinggalkan dan kesejahteraannya diabaikan. Para guru rela digaji dibawah UMR selama bertahun-tahun, tanpa diberi penghargaan yang layak sehingga sangat cocok bila guru mendapatkan gelar  sebagai “Pahlawan tanpa tanda jasa”.
            Pengelola Yayasan menganggap bahwa kemajuan sekolah yang selama ini dirasakan merupakan hasil kerja keras mereka dan keluarganya saja, sehingga meraka melupakan kontribusi para dewan guru yang begitu ikhlas mengajar demi kemajuan anak didiknya. Mereka alergi terhadap kritikan, lebih-lebih kalau kritikan itu datangnya dari guru, kalau ada guru yang mengkritik dengan entengnya mereka berkata : “Kalau sudah tidak suka lagi mengajar disini ya sudah, cari saja sekolah lain yang lebih baik, masih banyak kok guru yang lain yang mengantri ingin mengajar disini”. Kalau ada guru yang bertanya tentang pemotongan uang BKG mereka lantas berkata: “kalau tidak ada tanda tangan kami (kepala sekolah) uang ini tidak akan turun dan berada ditangan anda”. Sungguh picik pikiran mereka bukannya memberikan solusi dan menambah uang bantuan yang hanya sedikit jumlahnya, eh  malah disunat, dimanakah hati nurani mereka.
            Seandainya guru mau menghitung secara matematika berapa besar investasi meraka di sekolah dan berapa jumlah uang yang harus dibayarkan kepada setiap guru yang dikeluarkan. Jika diasumsikan UMR yang telah ditetapkan oleh pemerintah “tujuh ratus ribu rupiah” perbulan, sedangkan rata-rata gaji yang mereka terima hanya “tiga ratus ribu rupiah”, berarti setiap bulan seorang guru berinvestasi “empat ratus ribu rupiah”. Jika seorang guru telah mengajar selama sepuluh tahun berarti setiap guru mempunyai investasi terhadap sekolah sebesar “empat puluh delapan juta rupiah”. Sanggupkah sekolah membayar uang sebesar itu untuk setiap guru yang dikeluarkan. Sebagai seorang guru mungkin kita tidak akan sepicik itu dengan menuntut uang pesangon sebesar itu. Tapi yang diharapkan seorang guru adalah peningkatan kesejahteraan secara adil, bukan hanya pihak pengelola sekolah dan keluarganya saja yang sejahtera  tapi guru juga bisa menikmati kesejahteraan walaupun hanya untuk menutupi belanja dapur dan keperluan rumah tangga lainya.         
Tugas seorang pemimpin (pengelola sekolah) adalah menciptakan suatu pengelolaan pendidikan yang memberikan suasana yang kondusif bagi guru dan karyawan, sehingga guru dapat melaksanakan tugas profesionalnya secara kreatif dan produktif, serta memberikan jaminan kesejahteraan  dan pengembangan karirnya.1 Jabatan Kepala sekolah dalam hal ini sangat strategis karena kepala sekolah merupakan jabatan struktural dalam bidang pendidikan yang mengemban kewenangan profesi dimana selaku pimpinan bertugas untuk mengarahkan dan membimbing tenaga-tenaga kependidikan. Dengan demikian jabatan struktural kepala sekolah tidak terlepas dari tuntutan penguasaan kemampuan kepemimpinan dan kemampuan propesional bidang pendidikan.
            Kepala sekolah yang propesional adalah kepala sekolah yang mampu memberdayakan berbagai potensi yang ada untuk tujuan pendidikan secara maksimal maupun menyelesaikan berbagai masalah yang terkait dengan pengelolaan sekolah. Menurut Gary Easthope, kepemimpinan akan berkembang apabila melibatkan juga siswa.2
            Sebagai komponen proses pembelajaran disekolah, guru, karyawan dan siswa perlu dilibatkan dalam proses kepemimpinan, dan jika perlu diberi kesempatan untuk mengevaluasi kemampuan kepemimpinan mereka. Selanjutnya Everard dan Moris mengatakan bahwa ada tiga komponen penting yang merupakan tanggung jawab seorang pemimpin yaitu : 1). Mengelola SDM (Managing People); 2). Mengelola organisasi (Managing organization); dan 3). Mengelola perubahan (Managing Change).3 Masih menurut Everard dan Morris ketiga tanggung jawab inilah yang harus dilakukan oleh kepala sekolah agar dia berhasil dalam memimpin sekolah nya. Lebih jauh lagi Thurow menyatakan bahwa pemimpin yang baik adalah mereka yang dapat memberikan kepada orang lain apa yang harus mereka lakukan dan bukan bagaimana cara melakukannya. 4
            Dengan demikian nampak jelas bahwa peran kepemimpinan dalam upaya meningkatkan mutu sekolah amat penting, sebagaimana dinyatakan oleh Beck dan Murphy bahwa kepemimpinan merupakan salah satu syarat utama keberhasilan suatu sekolah. 5 lebih lanjut lagi beck dan Murphy  menyatakan bahwa kepemimpinan tidak hanya melibatkan kekuatan satu orang saja  melainkan pembagian tanggung jawab antar seorang pemimpin dan semua komponen yang ada disekolah. 
            Seorang Kepala sekolah juga harus selalu memberikan motivasi kepada guru, karyawan dan siswa agar semua komponen pendidikan tersebut dapat terus meningkatkan dan mengembangkan terus profesinya dengan baik. Karena profesionalisme guru dan juga karyawan merupakan tuntutan kebutuhan yang harus dipenuhi oleh setiap lembaga pendidikan.  

 2. Pengertian Profesionalisme Guru
            Profesi guru merupakan profesi yang sangat mulia, baik dalam pandangan masyarakat maupun dalam pandangan agama. Sebelum kita membahas lebih jauh tentang profesi guru terlebih dahulu kita bahas dulu tugas dan tanggung jawab antara guru dan karyawan. Guru adalah tenaga profesional dalam bidang pendidikan sedangkan karyawan adalah tenaga profesional dalam bidang administrasi yang bertugas membantu guru dalam melaksanakan tugas profesionalnya. Kedua komponen tersebut harus terjalin kerja sama yang baik sehingga kegiatan belajar mengajar dapat berjalan dengan baik dan keduanya mempunyai tanggung jawab yang sama yaitu mencapai tujuan pendidikan.
            Pendidikan berintikan interaksi antara pendidik (guru), dan peserta didik (siswa) untuk mencapai tujuan pendidikan. Pendidik, peserta didik, dan tujuan pendidikan merupakan komponen utama pendidikan. Ketiganya membentuk sustu triangle, jika hilang salah satu komponen maka hilang pula hakekat pendidikan.6 Untuk mencapai tujuan tersebut perlu adanya profesionalisme guru. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.7  
            Sebagai pendidik profesional, guru bukan saja dituntut melaksanakan tugasnya secara profesional, tetapi juga harus memiliki pengetahuan dan kemampuan  profesional. Berbeda dengan profesional dibidang  lain, profesionalisme guru adalah menyebar-luaskan kreativitas dan inovitas (semangat belajar) bagi siswa.8 Selanjutnya Mastuhu menjelaskan beberapa kriteria kecerdasan profesionalisme guru yaitu :
A.    Otonom, kejujuran, keahlian, tanggung jawab, komitmen, dan independent
B.     Keahlian diperoleh dari pembelajaran dan pengembangan bukan hanya latihan/magang.
C.     Keahlianya melampaui batas kemajuan fisik namun intelelektualnya terus berjalan.
            Profesional adalah memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. 9 Menurut pasal 39 ayat 2 Undang-Undang  Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional mengatakan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional mempunyai visi terwujudnya penyelenggaran pembelajaran sesuai dengan pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran atau kecakapan prinsip-prinsip profesional untuk memenuhi hak yang sama bagi setiap warga negara dalam memperoleh pendidikan.
            Guru sebagai tenaga profesional mengandung arti bahwa pekerjaan guru hanya dapat di lakukan oleh seseorang yang mempunyai kualifikasi akademik kompetensi dan sertifikat pendidikan  dengan persyaratan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan tertentu.  
            Untuk memenuhi kebutuhan guru yang profesional maka pemerintah menyelenggarakan uji kompetensi bagi para guru dengan sertifikasi,  baik unsur guru yang berstatus pegawai negeri maupun swasta. Bagi guru yang telah memiliki sertifikasi profesi diberikan tunjangan profesional  yang diambil dari anggaran pendidikan diluar gaji pokok dan tunjangan-tunjangan lainnya.
            Dalam Bab IV pasal 8 RUU Guru dan Dosen dijelaskan : guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidikan, sehat jasmani dan rohani serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kemudian dalam pasal 9 dijelaskan bahwa kualifikasi dimaksud adalah guru wajib memiliki kualifikasi akademik melalui perguruan tinggi program sarjana atau diploma empat. Pada pasal 10 dijelaskan kompetensi guru dimaksud meliputi kompetensi paedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Selanjutnya dijelaskan yang dimaksud dengan kompetensi paedagogik  adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik, yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif dan berwibawa serta menjadi teladan bagi peserta didik. Yang dimaksud dengan kompetensi profesional adalah kemampuan menguasai materi pelajaran secara luas dan mendalam. Dan yang dimaksud dengan kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orang tua/wali peserta didik dan masyarakat.      
            Profesionalisme guru merupakan tuntutan profesi yang harus dipenuhi oleh setiap guru. Apalagi dengan berbagai kebijakan pemerintah yang sudah mulai berpihak kepada guru. Tahun 2007 ini rencananya pemerintah akan memangkas jumlah pegawai negeri dari empat juta orang akan dirampingkan menjadi dua juta orang dan selama beberapa tahun kedepan pemerintah tidak akan merekrut pegawai negeri baru. Dari empat juta pegawai negeri di Indonesia hampir separuhnya adalah guru. Dengan demikian Jika tidak ada pegawai negeri baru berarti anggaran untuk merekrut pegawai negeri dapat disalurkan kepada guru-guru swasta yang selama ini selalu dianak-tirikan dalam hal anggaran oleh pemerintah. Diharapkan beberapa tahun kedepan guru swasta tidak akan berlomba-lomba lagi mengejar PNS karena  kesejahteraan mereka setara dengan PNS, mereka akan berlomba-lomba mengejar uji kompetensi untuk mendapatkan  tunjangan profesional. Semoga semua harapan para guru dapat menjadi kenyataan dan bukan hanya sekedar wacana saja.

3. Upaya Meningkatkan Profesionalisme Guru Melalui Partisipasi Dalam Pengambilan Keputusan
            Istilah partisipasi diambil dari bahasa asing participation yang artinya mengikut sertakan pihak lain.10 Partisipasi adalah keterlibatan ego atau diri sendiri / personal (kejiwaan) lebih dari pada keterlibatan dalam pekerjaan atau tugas saja.11 Partisipasi menurut Tannembaun dan Schmidt adalah suatu rangkaian kesatuan prilaku kepemimpinan mulai berpusat pada pimpinan sampai berpusat pada bawahan.12 Pengambilan keputusan adalah jawaban yang pasti terhadap suatu kenyataan, keputusan harus dapat menjawab pertanyaan: Tentang apa yang seharusnya  dilakukan dan apa yang dibicarakan dalam hubungannya dengan perencanaan. Keputusan juga dapat diartikan sebagai suatu tindakan memilih sesuatu yang mungkin dilakukan.13
Dari beberapa definisi tersebut dapat di artikan bahwa partisipasi dalam pengambilan keputusan adalah keterlibatan seseorang secara mental adan emosional dalam memilih beberapa alternatif pilihan sehingga mereka bersedia memberikan sumbangan pemikiran, terlibat dalam proses analisis, pemecahan masalah dan termasuk dalam pengambilan keputusan.
Untuk dapat meningkatkan profesionalisme guru seorang pimpinan (Kepala Sekolah) harus melibatkan guru dan karyawan dalam pengambilan berbagai macam keputusan terutama keputusan yang berhubungan langsung dengan guru dan karyawan. Hal ini dimaksudkan agar segala keputusan yang telah ditetapkan dapat dilaksanakan dengan baik dan penuh keikhlasan.
Untuk memenuhi segala kebutuhan tersebut maka para pemimpin dalam kepemimpinannya dituntut untuk dapat melakukan beberapa hal antara lain: 1). Harus senantiasa mengikut sertakan atau mengajak bawahan untuk berpartisipasi dan memberikan kesempatan kepada mereka mengajukan ide-ide atau gagasan, rekomendasi dalam proses pengambilan keputusan. Dengan cara seperti ini bawahan merasa ikut bertanggung jawab dan bangga karena mereka ikut serta dalam mencapai tujuan organisasi, sehingga dalam melaksanakan tugasnya mereka termotivasi; 2). Menginformasikan secara tegas tentang tujuan yang ingin dicapai, cara-cara mengerjakan tugasnya dan kendala-kendala yang dihadapi organisasi. Tentunya informasi ini dilakukan melalui komunikasi dua arah melalui interpersonal. Dengan cara seperti ini bawahan akan merasa dihargai dan diperhatikan, sehingga minat dan perhatian terhadap pekerjaan akan semakin meningkat; 3). Memberikan penghargaan dan pengakuan yang tepat serta wajar kepada bawahan atas prestasi yang dicapainya; 4). Memberikan tanggung jawab secara otonomi dalam tugasnya, sehingga memiliki kebebasan didalam mengambil keputusan sendiri dan dapat menumbuhkan daya kreatifitas bawahan. Dalam hal ini pemimpin harus meyakinkan bahwa ia mampu melaksanakan tugas itu dengan baik, sehingga bawahan akan merasa bangga atas kepercayaan pimpinan terhadap kemampuan bawahanya. Selain itu bawahan yang diberikan kepercayaan untuk melaksanakan tugas akan merasa bertanggung jawab; 5). Memberikan konpensasi dalam bentuk insentif, secara adil. Besarnya konpensasi harus disesuaikan dengan kemampuan dan beban tugas yang diembanya. Hal ini perlu dilakukan secara konsisten agar pegawai  yang berprestasi tidak berhenti dan memacu pegawai lainya untuk mencapai prestasi; 6). Mempromosikan pegawai yang telah memenuhi persyaratan promosi. Dalam hal ini persyaratan promosi harus diinformasikan kepada semua guru dan karyawan disekolah, agar mereka mengetahuinya secara jelas. Hal ini  penting untuk memotivasi guru dan karyawan dalam mengejar persyaratan dimaksud; 7). Mengikut sertakan guru dan karyawan dalam berbagai jenis pelatihan sesuai dengan kebutuhan kompetensi dalam tugasnya dan termotivasi dalam melaksanakan tugasnya. Tentunya guru dan pegawai dan  yang telah mengikuti pelatihan harus segera didayagunakan pada tugas yang relevan dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pimpinan agar guru dan pegawai dapat berpartisipasi secara aktif yaitu: 1). Lebih banyak komunikasi dua arah; 2). Lebih banyak memberi kesempatan bagi bawahan untuk mempengaruhi keputusan; 3). Kepala sekolah dan jajaran pejabat dibawahnya jangan terlalu bersikap agresif; dan 4). Potensi Guru dan pegawai untuk membuat sumbangan yang berarti dan positif, diakui dalam derajat yang lebih tinggi. 14
Selain itu juga ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar guru dan pegawai terlibat secara aktif diantaranya: 1). Mengembangkan serangkaian pertanyaan singkat untuk diberikan kepada Pemimpin terpilih untuk dikomentari dan dikembalikan sebelum pertemuan-pertemuan pendahuluan; 2). Mengadakan serangkaian pertemuan kelompok fokus yang dirancang untuk mendapatkan masukan dari mereka terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut; 3). Menunjuk gugus tugas yang beranggotakan pihak-pihak tertarik secara antar bagian untuk membantu menentukan faktor-faktor yang perlu dibicarakan. 15
Partisipasi dalam pengambilan keputusan merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam mencapai tujuan organisasi, namun demikian tinggi rendahnya pertisipasi tersebut akan sangat bergantung pada motivasi kerja dan kepemimpinan. Hal ini terbukti dari hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya bahwa Partisipasi dalam pengambilan keputusan mempunyai hubungan positif dengan motivasi kerja dan kepemimpinan.

4.  Upaya Meningkatkan Profesionalisme Guru  Melalui Motivasi Kerja
            Kata Motivasi berasal dari kata latin yaitu Movere yang berarti ” To Move” (Dorongan).16 James dan H Donelly dan kawan-kawan mendifinisikan motivasi dengan definisi : seluruh kondisi kekuatan dari dalam diri untuk berusaha sekuat tenaga yang menggambarkan keinginan, hasrat gerakan, dsb.17 Kemudian Mike dan Lewis mendifinisikan  motivasi sebagai suatu langkah (tindakan ) yang dilakukan oleh orang-orang yang komitmen kepada diri mereka sendiri untuk mencapai tujuan yaitu memenuhi segala kebutuhanya.18 Robin mendifinisikan motivasi sebagai suatu kemauan untuk menggunakan segala upaya yang paling tinggi dari tujuan organisasi disesuaikan dengan kemampuan yang diupayakan untuk memenuhi beberapa kebutuhan individu. Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa motivasi bertujuan untuk memenuhi kebutuhanya sendiri dan dikaitkan dengan tujuan suatu organisasi, jadi organisasi bertujuan untuk memenuhi kebutuhan individu, dan begitupun sebaliknya individu juga harus melakukan upaya untuk mencapai tujuan yang ditetapkan oleh organisasi.
Motivasi kerja merupakan sesuatu yang sangat penting, karena  dapat menunjang kelancaran pelaksanaan tugas pimpinan. Oleh sebab itu pimpinan harus senantiasa berupaya meningkatkan motivasi kerja bawahanya serta harus memiliki kemampuan didalam memahami berbagai aspek yang berkaitan dengan motivasi, terutama memahami kebutuhan yang di manifestasikan melalui perilaku pegawai dalam melaksanakan tugas. Perilaku pegawai dalam suatu organisasi akan muncul karena adanya interaksi secara vertikal dan horizontal antara pimpinan dengan bawahan dan antara bawahan dengan bawahan. Perilaku itu sendiri ditampilkan sesuai dengan sistem nilai atau aturan ketentuan yang berlaku dalam organisasi serta mempunyai latar belakang dorongan yang berbeda satu dengan lainya karena keinginan untuk memenuhi kebutuhan yang berbeda pula. 19
Dari beberapa uraian diatas, menunjukan bahwa perilaku pegawai pada hakikatnya adalah penampilan kerja yang didorong oleh suatu keinginan untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Jika kebutuhan itu merupakan faktor penyebab lahirnya perilaku pegawai, maka dapat dipastikan bahwa kebutuhan yang paling kuat pada saat tertentu, akan merupakan daya dorong yang menggerakan untuk bekerja kearah tercapainya tujuan. Selanjutnya apabila kebutuhan yang paling kuat telah terpenuhi biasanya kekuatan kebutuhan yang tinggi akan bergeser kepada kebutuhan lain.
Sehubungan dengan itu kebutuhan yang mendasari motivasi dapat dikelompokan dalam dua katagori, pertama adalah teori kepuasan (content Theory) yang menekankan pada pemahaman faktor-faktor dalam diri individu sebagai penyebab timbulnya tindakan tertentu. Yang kedua adalah teori proses (Process Theory) yang menekankan pada bagaimana dan dengan tujuan apa individu di motivasi.20
Teori kepuasan  menekankan pentingnya memahami faktor kebutuhan setiap pegawai sebagai penyebab timbulnya dorongan untuk melaksanakan  tugas agar dapat diserasikan dengan keinginan pimpinan dalam mencapai tujuan organisasi. Dalam pandangan ini berarti setiap pimpinan harus mampu memahami perilaku sebagai manifestasi dari kebutuhan. Selanjutnya memilih cara yang tepat untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Sedangkan teori Proses menekankan pada upaya menciptakan lingkungan kerja yang memungkinkan dapat membangkitkan motivasi kerja, baik dalam bentuk seuasana kerja, hubungan kerja, kebijakan maupun kepemimpinan.
Beberapa teori yang mendukung teori kepuasan kerja antara lain : Teori Dua Faktor Hezberg Teori Kebutuhan Maslow, dan Teori ERG dari Aldelfer. Dalam teori Hezberg dapat disimpulkan bahwa beberapa faktor pada dasarnya membuat motivasi dan kepuasan yang lebih tinggi, akan tetapi ketiadaanya tidak sangat negatif. 21 Faktor ini disebut faktor-faktor motivasi, motivator-motivator atau alat pemuas, karena faktor-faktor tersebut cenderung memotivasi dan memberi kepuasan. Selanjutnya dalam kaitanya dengan kepuasan, hezberg mengemukakan bahwa motivasi kerja ditentukan oleh dua faktor. Pertama, faktor yang tidak dapat memberikan kepuasan  dalam bekerja (Dissatisfier) atau yang disebut Faktor Hygiene, antara lain: gaji, jaminan kerja, kondisi kerja, status, kebijakan organisasi, dan kualitas hubungan antar pribadi. Dalam hal ini perbaikan gaji dan kondisi kerja tidak akan menimbulkan kepuasan kerja, melainkan hanya mengurangi ketidak puasan kerja. Faktor ini disebut faktor intrinsik. Kedua, faktor yang memberikan kepuasan dalam bekerja (Satisfier) atau faktor motivator yang meliputi faktor prestasi, tantangan pekerjaan, pengakuan, tanggung jawab, dan faktor promosi. Apabila faktor ini terpengaruh dalam pekerjaan maka mengerakan motivasi kuat Dan apabila faktor ini tidak ada maka akan menimbulkan rasa ketidak puasan yang berlebihan. Faktor ini disebut Faktor Intrinsik. 22
Hezberg dalam teori dua faktor menganggap bahwa timbulnya motivasi itu, antara lain didorong oleh faktor kepuasan kerja yang dikaitkan dengan konteks pekerjaan. Disamping itu tersirat unsur kebutuhan yang dapat menimbulkan kepuasan pegawai, namun lebih menekankan pada kebutuhan yang bersipat khusus yang berkaitan dengan aspek pekerjaan. Sedangkan teori kebutuhan menurut Maslow lebih menekankan psikologis manusia dalam kehidupan secara umum.
Teori kedua adalah teori Kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow. Menurutnya manusia itu didorong untuk melakukan sesuatu karena ingin memenuhi kebutuhanya. Karena kebutuhan tidak dapat dipenuhi sekaligus, maka kebutuhan-kebutuhan tersebut cenderung mempunyai perioritas dalam pemenuhanya. Akibatnya orang-orang mempunyai tingkat kebutuhan yang berlainan.23 Kebutuhan ini tersusun menurut urutan potensi hirarki. Susunan hirarki ini menunjukan bahwa kebutuhan lebih tinggi tidak memotivasi sikap seseorang kecuali bila kebutuhan yang lebih rendah sudah terpenuhi. Kebutuhan manusia menurut Maslow terbagi menjadi lima jenis: 1). Kebutuhan Fisik 2). Kebutuhan Keselamatan dan keamanan 3). Kebutuhan sosial, 4). Kebutuhan Penghargaan dan status 5). Kebutuhan Pemenuhan diri (Aktualisasi diri). Tingkatan pertama dan kedua disebut dengan kebutuhan golongan bawah sedangkan tingkatan ketiga sampai kelima merupakan kebutuhan golongan atas. Kebutuhan tingkat pertama berhubungan dengan fisik dasar yang perlu untuk memelihara kehidupan dan kesejahteraan yang layak. Apabila kebutuhan ini terpenuhi, kebutuhan fisik dasar cenderung menerima prioritas.
Kebutuhan tingkat kedua keselamatan dan keamanan erat hubunganya dengan pemeliharaan kehidupan dan kesejahteraan jangka panjang. Orang-orang ingin mampu bekerja, baik esok hari, maupun hari ini mereka membutuhkan keselamatan, dan mereka menghendaki bantuan, dan perlindungan yang layak apabila mereka mendapat kecelakaan atau dan mereka membutuhkan kemanan bila mereka tidak kuat lagi untuk bekerja karena usianya yang telah lanjut. Kebutuhan golongan bawah dipenuhi dengan makanan, pakaian, perumahan,, pembayaran  untuk membeli barang-barang dan perlengkapan rumah tangga, tunjangan tambahan untuk memberikan keamanan dan bantuan serta penghargaan.
Tiga tingkat yang lebih atas disebut kebutuhan golongan atas, dan kebutuhan mempunyai ciri-ciri yang berbeda dengan kebutuhan golongan bawah. Pemenuhan kebutuhan sosial seperti harta benda dan kasih sayang, sulit dilakukan secara berlebihan. Demikian pula, kebutuhan akan penghargaan, yang dipenuhi dengan pengenalan orang-orang lain atau rasa pertumbuhan dan prestasi perseorangan jarang dipenuhi secara berlebihan pula. Pada dasarnya kebutuhan yang lebih tinggi banyak berhubungan dengan perasaan dan nilai ketimbang dengan kebutuhan fisik.
Kebutuhan yang paling tinggi adalah pemenuhan sendiri (aktualisasi diri), kebutuhan ini dipenuhi apabila orang-orang sudah mencapai semuanya yang mereka mampu mencapainya. Dengan cara ini mereka menemukan pemenuhan diri mereka. Hanya keadaan pikiran ini jarang tercapai, dan biasanya hal ini tidak menerima prioritas kecuali kebutuhan yang lebih rendah telah dipenuhi secara layak.
Pada dasarnya teori Maslow dan Hezberg mempunyai kategori yang sama yakni faktor motivator (satisfier) yang dapat dikategorikan dengan kebutuhan aktualisasi diri dan kebutuhan sosial, sedangkan faktor higieni dapat dikelompokan kedalam kebutuhan fisik.
Teori kebutuhan yang ketiga adalah teori ERG (Existenci-Relatedness Growth)  yang dikemukakan oleh Aldelfer, yaitu : Kebutuhan Eksisitensi (E), meliputi kebutuhan fisik, dan rasa aman; Kebutuhan Relatedness (R), meliputi kebutuhan sosial / status, dan kebutuhan Growt (G), meliputi kebutuhan untuk dihargai dan dihormati.24 Pada dasarnya Maslow dan Aldelfer mempunyai pandangan yang sama terhadap tingkatan kebutuhan manusia. Kebutuhan eksistensi (Aldelfer) sama kategorinya dengan kebutuhan fisiologis dan rasa aman (Maslow), kebutuhan keterikatan (Aldelfer) sama dengan kategori kebutuhan rasa cinta (Maslow, dan kebutuhan pertumbuhan (Aldelfer) sama dengan kategori kebutuhan harga diri dan aktualisasi diri (Maslow).
Bertitik tolak pada teori kebutuhan menurut Maslow mulai dari kebutuhan tingkat dasar sampai dengan tingkat atas merupakan faktor yang perlu dipertimbangkan oleh setiap pemimpin dalam rangka meningkatkan motivasi kerja. Hal ini penting, karena kebutuhan merupakan salah satu unsur motivator yang menjadi penyebab timbulnya motivasi. Oleh karena itu, pemimpin mulai dari level bawah sampai dengan level atas dalam kepemimpinannya harus mampu menggali jenis kebutuhan yang ada pada setiap bawahan, sehingga dimungkinkan dapat memenuhi kebutuhan bawahanya secara tepat dan berdampak pada motivasi kerja yang tinggi. Untuk itu, seorang pemimpin dalam kepemimpinannya harus tanggap dan mampu memenuhi kebutuhan psikologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan sosial, kebutuhan panghargaan, dan kebutuhan aktualisasi diri.
Dari pembahasan diatas imflikasi terhadap sekolah, antara lain bahwa seorang pemimpin (Ketua yayasan, kepala sekolah dan jajaranya) harus mampu meningkatkan motivasi kerja Guru dan karyawan dengan cara memberikan konpensasi yang sesuai dengan beban kerja yang diembannya, tentunya disesuaikan dengan kemampuan sekolah dalam memberikan kompensasi tersebut, baik yang berupa insentif maupun lainya.

5. Upaya Meningkatkan Propesionalisme guru melalui  Kepemimpinan
            Betapa mulianya profesi seorang pemimpin sehingga Emmet C. Murphi dalam pengantar bukunya IQ pemimpin mengutif tulisan Daniel Boorstin tentang pemimpin dalam majelis parade mengatakan: ”Dunia dewasa ini mungkin memilih (pemimpin-pemimpin ) tetapi mereka dibawah bayang-bayang para selebritis. Para pemimpin dikenal karena prestasi mereka; sedangkan kaum selebritis  mencerminkan kemungkinan-kemungkinan pers dan media, kaum-kaum selebritis adalah yang membuat berita tetapi (para pemimpin) adalah orang yang membuat sejarah’.25 Pemimpin adalah seseorang yang mempengaruhi orang lain melalui proses komunikasi, sehingga menyebabkan orang lain itu bertindak  untuk mencapai tujuan tertentu.26 kegiatan seorang pemimpin biasanya meliputi kegiatan untuk : 1). Mengambil keputusan; 2). Mengadakan komunikasi; 3). Memberikan motivasi; 4). Menyeleksi orang-orang yang akan diperlukanya dan 5). Mengembangkan orang-orang itu. Kegiatan seorang pemimpin adalah kegiatan memimpin yang disebut kepemimpinan. Kepemimpinan adalah jenis kegiatan manajerial dan memusatkan parhatian pada interaksi antar pribadi antar pemimpin satu atau lebih bawahan, dengan maksud memperbesar  efektifitas organisasi. 27
Rodman C. Drake menjelaskan paling sedikit ada delapan sifat pribadi yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin  yaitu: 28 1). Kemampuan untuk memusatkan  perhatian; 2). Penekanan pada nilai yang sederhana, pemimpin suatu organisasi menganut seperangkat nilai yang sederhana, dan selalu menekankan nilai itu dalam pidato, bahan tertulis, dan dalam rapat dengan pegawai, menumbuhkan persetujuan dalam organisasi; 3). Selalu bergaul dengan orang, pemimpin yang efektif selalu tetap bergaul dengan pegawai baik didalam organisasi maupun diluar organisasi,  khususnya masyarakat finansial, pemimpin pemerintahan, ilmuan, dan akademisi; 4). Menghindari profesionalisme tiruan, yaitu seorang manajer yang menggunakan saran bantu konsep secara tidak efektif, yaitu saran bantu manajemen dan konsep manajeman mengenai perumusan perencanaan strategis, pemimpin sejati fokus kearah mana organisasi harus bergerak dan menghindari gerakan tidak efektif; 5). Mengelola perubahan, sifat ini melengkapi sifat pandangan luas selalu memilih bayangan dari masa depan organisasi, seorang pemimpin harus terampil dalam mengadakan perubahan, konsensus, demikian pula memimpin untuk mengurangi resiko; 6). Memilih orang, setiap pemimpin yang efektif mahir mengikuti pikiran dan mempertahankan bawahan yang berbakti dan mempromosikan mereka dalam organisasi; 7). Hindari mengerjakan semuanya sendiri, pemimpin yang berhasil menyadari bahwa mereka tidak mengetahui semuanya; sebagai manusia biasa mereka memiliki pengetahuan dan kemampuan terbatas; 8). Menghadapi kegagalan, akhirnya satu sifat pemimpin yang berhasil adalah kemampuan untuk menangani kegagalan. Pemimpin sejati tidak akan ragu-ragu untuk menghadapi kemunduran dan akan mengakui tanggung jawabnya bila memang begitu keadaanya. Yang lebih penting lagi, pemimpin seperti itu akan belajar dari kesalahan yang telah diperbuat dan akan maju terus pantang menyerah.
Dari hasil penelitian yang dilakukakn oleh Universitas Michigan ditemukan dua gaya kepemimpinan yaitu kepemimpinan yang berorientasi pada tugas ( Job-Centered) yang cenderung lebih mementingkan tujuan organisasi dari pada memperhatikan Bawahan dan kedua adalah jenis kepemimpinan yang berorientasi pada staf (Employee-Centered).29 Keduanya memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi faktor penggerak motivasi kerja pegawai. Namun efektif atau tidaknya kedua gaya kepemimpinan tersebut tentu bergantung kepada kemampuan dan keterampilan pemimpin dalam menerapkan gaya kepemimpinannya secara tepat. Pada fase awal ketika bawahan pertama kali memasuki organisasi, gaya kepemimpinan yang berorientasi tugas akan sangat dominan untuk diterapkan. Kerana pada fase ini bawahan masih belum memahami tugasnya, sehingga mereka sangat perlu dibimbing dan diberi instruksi dalam melaksanakan tugas pekerjaanya agar terbiasa dengan peraturan dan prosedur organisasi, tetapi jika bawahan sudah mulai memahami dan sudah matang serta telah termotivasi didalam melaksanakan tugasnya, pemimpin harus memberikan kepercayaan dan dukungan serta membina hubungan lebih akrab dengannya. Seiring dengan itu, secara bertahap gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas harus sudah mulai dikurangi dan beralih kepada gaya kepemimpinan yang berorientasi bawahan. Dalam hal ini yang paling penting adalah pemimpin harus mampu mengubah gaya kepemimpinanya secara variatif sesuai dengan tuntunan lingkungan kerja serta dapat memotivasi pegawai.
            Dari uraian tentang kepemimpinan diatas diharapkan lahir seorang pemimpin yang baik dan dapat meningkatkan Propesionalisme guru dengan cara memberikan kesempatan kepada para guru dan pegawai untuk dapat ikut seta memikirkan kemajuan sekolah, sehingga dari sekolah dapat melahirkan guru-guru yang ikhlas dalam beramal tanpa dibebani oleh berbagai permasalah yang berkaitan dengan kurangnya kesejahteraan, Wallahu A’lamu Bissowaf.

Catatan :
1 Ruhenda, Refornasi Pendidikan dan Profesionalisme Guru (Jurnal Ilmiah Khazanah Vol 1 No.2 Mei 2005), Hal 10.
2  Gari Easthope, Community Hierarchy and open Education (Great Britian :Routledge and Kegan Paul Ltd, 1975 ), Hal 19-20.
3 K.B Everrd and Geoffrey, Morris, Efective School Management, (London : Paul Chapman Publishing Ltd, 1996). Hal 1-300
4  http://www . Ucsy. Colorado. Edu /~isj xxx/002/htm…
5  Lynn, G. Beck and Joseph Murphy, The Four Imperatives of Successful School (USA : Corwin Press Inc 1996) hal 102.
6 Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan kurikulum, ( Bandung :Pt. Remaja Rosda Karya 1984)  hal. 191
7  lembaga DPR RI , RUU Guru dan Dosen, bab I pasal I tentang ketentuan umum,
8   Mastuhu, Masalah Mendasar Sub Sistem Pendidikan Nasional dan Propesionalisme Guru, di sampaikan dalam seminar guru.
9  Op. Cit hal. 20
10 E C Alex. S Nitisemito, Manajemen Personalia Manajemen SDM (Jakarta : Ghalia indonesia,1991) hal. 260
11  Gordon W. Allport, The Psychologi of Participation (the United State Of America : MC Graw-Hill Inc.1989), hal. 251
12  A. Dale Timpe, Seri Manajemen Sumber Daya Manusia : Kepemimpinan ( Jakarta : Gramedia, 1991),  hal. 86
 13 Ibnu Syamsu, Pengambilan Keputusan dan Sistem Informasi (Jakarta : Bumi Aksara, 1985) hal. 3
14  Op Cit. Hal. 88
15 George Moresey, Pedoman Pemikiran Strategis, Membangun Landasan Perencanaan anda, Terjemahan Giarto Widianto (Jakarta : Prenhalindo, 1997), hal. 15
16 Richard M Sters dan Luman U. Porter, Motivation Theory and Research (California : Wood  Sworth Inc, 1986), hal. 3
17 James H Donelly, James L. Gibson, John M Ivan Cevic, Manajement, Sixth Edition, Business Publication Inch. 1997), hal. 292
18 Mike Lewis and Graham Kelly, 20 Activities For Developing managerial Efectiveness, a management Skill training manual, (England : Gower Publishing Company Limited, craft Road, Heder shot, 1986), hal.260
19 Wahjo sumidjo, Kepemimpinan dan Motivasi (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1994), hal. 174
20 James A.F Stoner dan R Edward Freeman, Manajemen (Englewood Cliffs, NJ : Prentice-Hall. Inc;1989), hal. 429-430
21 Moekijat, Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia, (Bandung : Mandar maju 1995), hal. 149
22 Andrew D. Szilagy, Manajement and Performance (Santa Monica, California : Goodyear Pub. Co; 1981), hal. 411-412
23 Ibid, hal.146
24 Terence R. Mitchell, People in Organizations understanding Their Behavior (USA : Mc Graw-Hill Inc, 1978), hal. 158
25 Emmet C. Murphy, Iq Kepemimpinan (Jakarta : PT Gramedia Pustaka utama, 1998), hal. 1
26 Kamaruddin, Inseklopedia Manajemen (Jakarta : Bumi Aksara 1994), hal. 474
27 Ibid, hal. 475
28  A. Dale Timpe, Seri Manajemen Sumber Daya Manusia : Kepemimpinan, Alih bahasa : Susanto Budi Dharmo ( Jakarta : PT Elek Media Komputindo, 1991), hal.3
29 Indrio Gitosudarmo dan I Nyoman Sudi, Prilaku Keorganisasian, Edisi Pertama (Yogyakarta : BPFE, 1997), hal. 135


Tidak ada komentar:

Posting Komentar